Sabtu, 12 September 2009

Cinta Sebatas Harta

Perempuan setengah tua itu segera membuka pintu rumahnya dengan
seonggok senyuman, menyambutku. “Anak-anak sedang keluar. Bapaknya lagi kerja!
Ayo masuk....” ungkapnya ketika saya tanyakan kemana suami dan anak-anaknya.
Sambil mempersilahkan saya duduk di sofa tuanya, sekilas terlihat kedua bola
matanya berkaca-kaca setelah menerima sebuah jilbab putih, kado kecil saya
kepadanya. Seolah sedang mencoba mengingat kejadian masa lalu.
“Siapa yang tidak menyukai harta banyak? Rasulullah SAW sendiri mengajarkan
falsafah untuk berdoa seolah-olah kita mati esok hari dan bekerja mencari harta
seolah-olah kita hidup selamanya. Saya sebagai manusia biasa, dibesarkan oleh
keluarga yang kurang mampu, sudah tentu berharap keluarga saya kelak, suami dan
anak-anak saya, tidak mengalami nasib yang sama menimpa saya. Sebuah cita-cita
seorang perempuan yang tidak terlalu muluk kan? Siapa pula yang tidak menyukai
persaudaraan? Merasa dicintai oleh anggota keluarga akan menciptakan suasana
batin tersendiri. Betapa lengkapnya jika kita memiliki kedua-duanya, harta dan
cinta saudara. Rasulullah SAW pula mengajarkan bahwa tidak akan dimasukkan
kedalam golongan orang-orang beriman selama tidak mencintai saudara-saudaranya
sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Namun siapa menyangka bahwa kaitan
cinta persaudaraan dan harta yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah ini
ternyata erat sekali? Bahwa hilangnya harta akan sanggup melenyapkan pula
cintanya”.
“Dua puluh tahun lebih suami saya bekerja sebagai pegawai negeri di suatu
institusi pemerintah. Selama itu pula kami belum mampu untuk membeli rumah.
Jangankan mendirikan sendiri, rumah kaplingan pun kami belum mampu mengangsur.
Dua anak kami yang terpaut hanya dua tahun usianya semakin besar saja dan
membutuhkan pendidikan yang tidak lagi sedikit beayanya, sebagaimana tuntutan
generasi mereka. Yang pertama, laki-laki, memasuki perguruan tinggi. Yang kedua,
perempuan, di sekolah menengah atas waktu itu. Padahal penghasilan suami saya
pas-pasan saja. Adakah saya sebagai seorang istri yang kurang pandai bersyukur?
Wallahu’alam!”
“Dalam doa-doa yang saya panjatkan kepada Allah SWT disamping agar
digolongkannya kami sebagai orang-orang yang beriman, pandai bersyukur, juga
diantaranya memohon kesejahteraan keluarga kami. Sepuluh tahun lalu, selama
hampir dua puluh tahun sudah kami tinggal di rumah dinas. Karena
kesenioritasnnya suami saya kemudian dia menduduki jabatan sebagai salah satu
kepala bagian. Tapi itu bukan berarti menjadikan posisi kami secara finansial
semakin terdongkrak. Kami tetap biasa-biasa saja. Alhamdulillah suami saya bukan
tergolong orang yang gampang ‘tertular’ penyakit masa kini: korupsi dan
penyalahgunaan jabatan. Dalam hati ini ada rasa bangga. Bahwa ditengah-tengah
kesederhanaan keluarga kami, masih ada suatu yang amat berharga: menjaga
nilai-nilai moral yang diajarkan oleh Islam, untuk tidak hidup diatas
penderitaan orang lain.”
“Subhanallah! Disaat demikian, ternyata Allah SWT menjawab doa-doa saya.
Pertama, diberikannya kesempatan kepada suami saya untuk pergi haji atas beaya
dinas. Dan yang kedua suami saya diberikan ijin cuti diluar tanggungan negara,
untuk bisa bekerja di luar negeri. Adalah rahmat dan karunia yang amat besar.
Air mata ini tidak terasa mengalir ditengah-tengah ungkapan rasa syukur saya
kehadiratNya.”

“Mendiang ayah saya, keturunan Yaman, seorang Imam di mushollah kecil di desa
kami. Beliau tergolong keras dalam mendidik kami. Tidak seperti keluarga ayah
saya lainnya, paman dan tante, yang rata-rata pengusaha, keturunan Arab Yaman,
yang bahkan beberapa orang menetap di Saudi Arabia, sehari-hari kerja beliau
hanyalah menjahit. Sementara ibu tinggal di rumah, mengasuh kami anak-anaknya
yang delapan orang. Sekolah saya cuma sampai SD. Ketika saya menikah, suami saya
boleh dikata tidak memiliki apa-apa, kecuali masa depan pensiun. Sebagai seorang
anak perempuan yang harus patuh kepada orangtua, saya berprasangka baik terhadap
niat mulia pernikahan, walaupun mas kawin hanya Al Quran. Rejeki akan datang
sesudah pernikahan. Saya pikir permasalahannya hanyalah waktu.”
“Itulah kenangan 20 tahun silam sebelum kami menikah, sebelum kedua ibu-bapak
kami meninggalkan kami untuk selamanya.”
“Sebelum suami saya bekerja di Saudi Arabia, hubungan kami dengan seluruh
keluarga, baik dari pihak saya ataupun suami nampak biasa-biasa saja. Artinya
kami tidak pernah mengalami konflik. Tidak terlalu erat, namun juga tidak bisa
dikatakan jauh dari hubungan persaudaraan. Demikian pula dengan tetangga di
dalam rumah dinas kami, termasuk hubungan kami dengan rekan-rekan kantor suami
saya.”
“Tidak lebih dari satu tahun setelah kepergian suami ke luar negeri, ketika
keluarga kami mulai menampakkan perubahan secara materi, hubungan kami mulai
berubah, sekali lagi, sikap baik dari keluarga saya ataupun suami, juga
rekan-rekan kantor suami. Saya rasa bisa dimengerti mengapa ini terjadi tanpa
harus banyak saya ceriterakan disini. Saya sering terima tamu, pujian, dan
kadang-kadang ‘sindiran’.”
“Terus terang secara materi kami pada akhirnya berlimpah. Kedua anak kami segala
kebutuhannya jadi tercukupi. Kuliah tidak terganggu karena masalah beaya, sarana
transportasi ada, barang-barang kebutuhan rumah tangga, elektronik, hingga
kebutuhan sekunder lain pendeknya lengkap tanpa harus repot-repot, seperti
kebanyakan orang lain, mengkredit atau hutang di bank. Dalam waktu dekat bahkan
kami bisa membeli sepetak tanah kaplingan untuk mendirikan rumah yang ukurannya
cukup lumayan buat ukuran kami. Apalagi letaknya di pojokan jalan yang
strategis. Siapapun yang lewat akan bertanya “Rumah siapa ini?” Subhanallah,
betapa besar karunia yang Engkau limpahkan terhadap hambaMu ini! Engkau Mahakaya
ya Allah!”
“Seiring dengan rutinnya pengiriman uang dari suami saya, satu-demi-satu ujian
kepada saya mulai berdatangan. Pertama soal rumah dinas kami. Saya, seorang
istri, perempuan yang secara kodrati lemah, terkadang tidak kuat mendengar
sindiran teman-teman suami saya yang mengatakan bahwa posisi kami dienakkan.
Sudah tidak kerja di kantor, tetapi menempati rumah dinas besar yang gratis.
Saya sempat kalut karena tidak bisa berbuat banyak. Saya tidak bisa mengambil
keputusan untuk pindah rumah, kontrak di tempat lain tanpa kehadiran suami.
Belum lagi ‘suara-suara’ tetangga yang pada hemat saya ‘iri’. Padahal,
subhanallah, saya tidak pernah memamerkan kekayaan suami. kalau barang-barang
kebutuah rumah tangga itu kami beli, karena memang tuntutan dan banyak orang
yang mampu memilikinya. Vespa, sepeda motor, TV, kamera, bawaan suami juga bukan
barang mewah kan? Dari jauh suami yang sering telepon hanya bisa menghibur untuk
‘tenang’, karena status kami di rumah dinas adalah legal. Tetapi suami saya
tidak tahu apa yang terjadi sehari-hari. Padahal saya disaat yang sama juga
harus memikirkan rumah kami yang sudah mulai dibangun. “Saya harus kuat
menghadapi semua ini!” Saya coba menghibur diri. Tetapi sampai kapan?”
“Sesudah tetangga, rekan-rekan suami serta masalah kantor yang bertubi
menghantam pikiran saya, kini giliran saudara-saudara. Saudara-saudara kami,
dari kedua belah pihak, mulai sering berdatangan, dan saya pada akhirnya tidak
bisa menghindar dari apa yang sesungguhnya saya benci, utang-piutang. Ada yang
hutang dengan janji akan mengembalikan dalam beberapa bulan yang ternyata tidak
bisa ditepati. Ada pula yang mengajak ikut serta saya dalam bisnisnya. Sekali
lagi, suami saya yang memang memberikan kepercayaan kepada untuk melakukan
segala sesuatu, saya tidak bisa menolak, apalagi datangnya dari saudara sendiri.
“Toh mereka tidak akan menipu!” demikian pemikiran polos ini muncul begitu saja.
Konflikpun kemudian menjadi bertumpuk, dan saya tidak kuasa mengatasinya
sendirian. Suami juga ikut ‘kacau’ pikirannya. Lewat berbagai pertimbangan,
akhirnya diputuskannya balik ke Indonesia.”
“Padahal kontrak kerja di Saudi Arabia belum selesai. Padahal rumah baru yang
sedang dibangun masih tujuh puluh persen. Padahal kuliah anak belum rampung.
Padahal aku juga ingin naik haji. Padahal kami masih punya hak untuk menempati
rumah dinas. Padahal usia suami masih jauh dari pensiun. Padahal cuti diluar
tanggungan negara masih dua tahun lagi....”
“Masih banyak ‘padahal-padahal’ lainnya yang mendasari alasan suami saya untuk
tidak segera pulang sesudah tiga tahun di luar negeri. “Barangkali sudah
suratan!” itulah jawaban sederhana saya menyikapi kenyataan yang ada.”
“Suami pulang! Kami bahagia dan juga haru. Bahagia karena saya tidak lagi
sendirian menghadapi segala dilema hidup ini. Kalau selama 3 tahun terakhir
suami hanya pulang disaat cuti tahunan, kini kami berkumpul kembali. Haru karena
sudah berbulan-bulan ternyata suami juga ikut stress memikirkan apa yang sedang
menimpa kami tanpa ada penyelesaiaan yang jelas. Dia tidak kuasa melihat saya
sendirian mengatasinya. Dua perasaan yang berlawanan arus ini mengguncang batin
saya.”
“Harapan sesudah balik ke Indonesia dapat segera kerja lagi dan memperoleh gaji
seperti semula ternyata meleset. Semula kami mengira, dengan sedikit tabungan
yang ada, dan gaji bulanan suami sebagai pegawai negeri akan cukup bisa dipakai
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sekolahnya anak-anak.
Nyatanya....suami saya harus pulang balik Jakarta-Malang berkali-kali untuk
mengurusi ketidakberesan administrasi yang ada, yang membuat status
kepegawaiaannya terkatung-katung. Suami saya tidak bisa bekerja lagi secara
otomatis seperti sediakala. Lebih dari setahun sudah berlalu, dan status
kepegawaiannya belum juga beres. Sementara dua orang anak kami sedang kuliah.
Kebutuhan sehari-hari harus pula kami penuhi. Dengan kondisi suami yang
demikian, tanpa kerja dan penghasilan, bagaimana kami bisa memenuhinya?”
“Akhirnya, jangankan untuk meneruskan pembangunan rumah dan melunasi beaya
kuliah dua anak kami, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari kami terpaksa, harus
menjual satu demi satu barang-barang hasil pembelian suami di luar negeri.
Barang-barang elektronik, kamera, sepeda motor, vespa, hingga investasi kami
yang paling berharga, rumah, sudah tidak lagi menjadi hak milik kami.”
“Subhanallah! Dalam kondisi yang demikian, siapa lagi yang mau mendekati kami?
Hanya orang-orang yang berhati tulus saja yang mau menengok keadaan kami.
Saudara-saudara yang tadinya setiap saat nongol di depan pintu rumah tanpa
diundang, kini menjauh. Sesudah mengetahui keadaan kami, mereka tidak ada lagi
beritanya. Ya...Allah.. inikah buah kepemilikan harta ini? Harta yang tidak
lebih hanya membuat sikap sebagian umatMu lupa, bahwa semuanya ini hanya
sementara, hanya titipan, hanya sekejap.....”
“Sesudah berjuang selama satu setengah tahun, Alhamdulillah suami saya
mendapatkan kembali hak-haknya, walaupun tanpa ‘rapelan’. Ia mulai bekerja lagi,
tanpa jabatan seperti yang diharapkan. Tidak masalah. Begitu batin saya.”
“Satu tahun lagi suami saya akan pensiun. Rasanya kami memang lebih baik begini
keadaannya. Tidak harus bergelimang harta. Pengalaman kami mencatat, meski tidak
semua orang kaya mengalaminya, harta ternyata membuat banyak kepalsuan hidup.
Cinta dan persaudaraan rusak karenanya. Itulah yang kami rasakan. Kami harus
meninggalkan rumah dinas yang kami tempati hampir tiga puluh tahun beberapa saat
lagi. Saya tidak tahu kami akan tinggal dimana nantinya, sementara dua anak kami
masih harus mencari kerja. Tapi satu yang saya pasti, Allah SWT lah Yang akan
membantu kami, karena cintaNya yang tanpa batas. Kemurnian cintaNya tidak
dibatasi oleh jumlah kekayaan yang dimiliki oleh hambaNya.”
Kedua bola mata perempuan setengah tua itu kembali berkaca-kaca saat saya
berpamitan. “Nanti akan saya sampaikan salam mu kepada Bapaknya!” katanya sambil
menggenggam jilbab putih, mengiringi langkah-langkah kaki saya menjauhi rumah
dinas yang mulai nampak keropos dinding-dindingnya. Seolah ikut mencoba
mengingat kejadian masa lalu penghuninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar