Sabtu, 12 September 2009

DALIL SUNNAH TENTANG CINTA ALLAH

DALIL SUNNAH TENTANG CINTA ALLAH

a. Dari Abu Darda’; ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda; “Ada tiga orang di mana Allah mencintainya, tersenyum padanya, dan merasa senang dengannya. Pertama, orang yang berperang demi Allah dalam satu pasukan. Kadang ia terbunuh, kadang pula dianugerahi kememnagan dan kecukupan oleh Allah, seraya Ia berfirman: ‘Lihatlah hamba-Ku ini, bagaimana ia bersabar karena Aku?’ Kedua, orang-orang yang punya isteri cantik dengan kasur empuk, namun ia melakukan qiyamullail. Allah berfirman tentangnya: ‘Ia meninggalkan syahwatnya dan mengingat Aku. Padahal kalau mau ia bisa saja tidur.’ Ketiga, orang yang berpergian bersama rombongan. Kemudian orang-orang dalam rombongan itu terjaga dalam rombongan itu terjaga malam, lantas diserang kantuk dan tertidur, tetapi ia bangun di waktu sahur, dalam susah dan senang.
b. Dari amir bin Sa’ad; ia bertutur: Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash ra. Di atas ontanya, datanglah anaknya, Umar. Ketika melihatnya, Sa’ad berkata, “Saya berlindung kepada Allah dari keburukan pengendara ini,” seraya turun dari kendaraannya. Umar berkata padanya: “Apakah kamu (baca: ayah) berpergian dengan unta dan kambing serta meninggalkan manusia dan saling berbantahan tentang kekuasaan di antara mereka?” Kemudian Sa’ad memukul dadanya dan berkata, “Diam! Saya telah mendengar Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang bertakwa lagi kaya dan menyembunyikan diri.

Takwa dalam hadits ini berarti melaksanakan apa yang diwajibkan Allah dan menjauhi apa yang diharamkan-Nya.

Kaya berarti kaya diri, jiwa dan hati. Inilah kaya yang dicintai Allah SWT, seperti sabda Rasulullah saw: “…Namun kekayaan yang sebenarnya adalah kaya jiwa.”

Al-Qadhi (Iyadh) berpendapat, maksud kaya di sini adalah kaya harta.

Adapun makna menyembunyikan diri adalah melakukan ibadah yang hanya diketahui Allah, sibuk dengan urusannya tanpa diketahui orang lain.

Al-hafizh ra. Mengatakan:

“Orang yang memiliki sifat kaya diri (jiwa) akan selalu merasa cukup atas rezeki Allah. Tak menuntut tambahan dan tidak tamak melebihi kebutuhannya. Dia tidak nyirnyir meminta tambahan rezeki kepada Allah, tetapi ridha dengan segala ketentuan dan pembagian-Nya. Seakan-akan dia selalu berkecukupan.

Sebaliknya, orang yang kafir jiwanya, pasti berbeda dengan orang yang kaya jiwanya. Ia tidak merasa cukup atas pemberian Allah, bahkan berusaha mendapatkan kelebihan dari kebutuhan. Dan jika tidak tercapai, dia merasa sangat sedih dan terbebani, seakan-akan orang yang miskin harta, karena ia tidak pernah merasa cukup dengan pemberian-Nya.

Sedang kekayaan jiwa tumbuh dari perasaan ridha atas ketentuan Allah dan menerima perintah-Nya. Karena dia tahu apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal, dia selalu menjaga diri dari ketamakan dalam meminta.

Betapa indah ungkapan yang menyatakan:

kaya jiwa itu adalah merasa cukup sebatas kebutuhan
lebih dari itu bukanlah sebuah kekayaan
namun kekafiran

c. Dari Abu Hurairah ra.; ia berkata: rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya allah Azza wa Jalla, jika memberi suatu nikmat pada hamba, maka Ia sangat senang manakala melihat bekas nikmat itu kepada dirinya. Dan Allah membenci sikap menghinakan diri dan pura-pura menghinakan diri. Allah juga membenci peminta yang tamak dan mencintai orang yang pemalu dan menjaga kehormatan diri.”

d. Dari Abu Idris al-Khaulani rahimahullah, ia berkata: “Aku masuk masjid Damaskus. Di dalamnya ternyata ada seorang pemuda yang berseri-seri wajahnya dan disekeliling banyak orang. Apabila berselisih pendapat tentang sesuatu, mereka menyadarkannya pada orang itu dan merujuk ucapannya. Kemudian aku bertanya tentang pemuda tersebut? lalu dijawab: ‘Itu adalah Mu’adz bin Jabal.’ Keesokan harinya aku datang ke masjid lebih awal, tetapi ia kudapati telah lebih dulu dari Aku dan kutemui ia sedang shalat. Kemudian aku menunggunya hingga ia selesai shalat. Setelah itu aku mendatanginya dari arah depannya, lalu kuucapkan salam, seraya kukatakan padanya: “Demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.” Ia bertanya: “Sungguh karena Allah?” Jawabku: “Ya, karena Allah.” Ia bertanya lagi; “Sungguh karena Allah?” Jawabku lagi: “Ya, karena Allah.” Kemudian ia menarik selendangku dan mendekatkan diriku kepada dirinya, seraya berkata: “Bergembiralah, karena aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman; Pasti kecintaan-Ku kepada orang-orang yang saling bercinta karena Aku, orang-orang yang duduk-duduk karena Aku, orang-orang yang saling berkunjung karena Aku, dan orang-orang yang saling berderma karena Aku.”
e. Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw.: “Ada seorang laki-laki pergi menziarahi saudaranya di kampung lain. Maka datang padanya seorang malaikat utusan Allah untuk menanyakan maksudnya seraya berkata: ‘Ke mana tujuanmu?’ Dia menjawab: ‘Saya mau menemui saudara saya di kampung anu.’ Malaikat itu balik bertanya, ‘Apakah karena suatu keuntungan yang kamu harapkan darinya?’ Ia menjawab: ‘Tidak, tapi saya mencintainya karena Allah.’ Malaikat itu berkata, ‘Saya adalah utusan Allah kepada Anda untuk memberitahu, bahwa Allah mencintai Anda sebagaimana Anda mencintai saudara Anda.”

Imam Nawawi rahimahullah berkata:

“Hadits ini menerangkan keutamaan cinta karena Allah dan bahwa cinta ini menjadi sebab Allah mencintai hamba. Juga menjelaskan perihal keutamaan menziarahi orang shalih, sahabat, dan saudara. Selain memberitakan bahwa manusia pun kadang ada yang bisa melihat malaikat.”

f. Dari Abu darda’ ra.; ia berkata: “Tidaklah dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, tanpa sepengetahuan keduanya, kecuali Allah lebih mencintai orang yang lebih mencintai saudaranya di antara keduanya.”

g. A’isyah ra. Meriwayatkan bahwa Nabi mengutus seorang laki-laki kepada sebuah pasukan perang. Saat mengimani shalat ini membaca ayat “Qul Huwallahu Ahad” pada rakaat terakhir. Saat pulang perang, mereka menceritakan kepada Nabi. Beliau menyuruh mereka menanyakan hal itu, kenapa dia berbuat demikian? Saat itu ia menjawab, “Pada ayat itu terkandung sifat ar-Rahman dan saya sangat senang membacanya.” Mendengar hal itu Rasulullah saw. bersabda: “Beritahukan padanya bahwa Allah mencintainya.”

h. Dari Umar ra. Dituturkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Rasulullah, seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Siapakah manusia yang paling dicintaiNya?” Rasulullah saw. menjawab, “Manusia yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain, dan amal yang paling dicintai Allah adalah menyenangkan hati saudara sesama muslim, menjauhkannya dari kesusahan, menolongnya membayar utang, atau mejauhkannya dari rasa lapar. Saya lebih suka berjalan dengan saudara sesama muslim daripada I’tikaf sebulan di masjid. Siapa yang menahan dirinya dari amarah, Allah akan menutupi kejelekannya. Siapa yang menahan kemarahan, padahal jika mau dia bisa melakukannya, maka allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan pada hari Kiamat. Siapa yang berjalan dengan saudaranya sesama muslim untuk memenuhi kebutuhannya hingga bisa meneguhkannya, maka Allah akan menguatkan kakinya pada hari Kiamat, saat kaki-kaki makhluk dilemahkan dan dirobohkan-Nya. Ketahuilah, bahwa akhlak yang buruk bisa merusak dan membuat amal sia-sia, seperti cuka bisa merusak madu.

Create Successfully

Manusia diciptakan penuh dengan keterbatasan. Ingin rumah luas uang tidak punya untuk membuatnya, ingin sekolah tinggi motivasi tidak ada, ingin menikah keberanian sirna, ingin hidup tenang tapi terus saja gundah gulana, ingin sukses tapi misi dan visi hidup tidak beres.
Sungguh Maha Adil Allah yang telah mencipta, dengan segala keterbatasan yang ada, manusia menempati tempat tertinggi dibanding makhluk Allah lainya. Dia beri kita akal untuk menyempurnakan keterbatasan yang kita miliki, Dia beri kita hati nurani yang tidak pernah berdusta, Dia beri kita jasad yang indah lagi sempurna.
"Kenapa hidup saya selalu tersiksa begini, gagal dan tidak berarti?"
"Akankah ada hari esok penuh ceria untuk saya yang nestapa?"
"Masihkan ada ampunan Allah untuk saya yang bergelimang maksiat?"
"Kapankah datangnya belahan jiwa yang akan menentramkan hati?"
Pertanyaan di atas senantiasa saja ada pada setiap jiwa. Keinginan besar untuk hidup tenang, bahagia, sukses adalah impian kita semua. Keinginan untuk mencapai kesuksesan, prestatif, inovatif, produktif terletak pada seberapa besar kita mampu menempatkan diri pada Zat yang telah menciptakan kita dengan segala keterbatasan ini. Kita tidak pernah mampu menahan maut yang menjemput. Kita tidak pernah bisa bertindak saat usaha telah maksimal ternyata kita masih juga menemui kegagalan. Tidak pula bisa kita tunda saat umur senantiasa bertambah. Apa yang bisa kita lakukan?
Rendah hati, qolbu yang bersih, bekerja keras, berdoa, dan tawakal adalah kunci keberhasilan jika kita ingin mejadi pribadi sukses. Allah adalah satu-satunya tempat kita bergantung, karena hanya Dialah yang mengeluarkan kita dari kegelapan kepada cahaya. "Allah adalah pelindung orang-orang beriman, Dia mengeluarkan dari kegelapan kepada cahaya" (QS. Al-Baqarah: 27)
Lia's Gallery menuliskan beberapa prinsip yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi pribadi sukses. Saya mencoba mencoba mengadopsinya untuk kemudian menjadi prinsip kita bersama, agar kita menjadi pribadi sukses dengan limpahan Rahman dan Rahim Allah.
1. Bekerjalah karena Allah, bukan karena pamrih kepada orang lain. Maka Anda akan memiliki integritas yang tinggi, yang merupakan sumber kepercayaan dan keberhasilan.
2. Jangan berinspirasi pada yang selain Allah. Jangan berprinsip pada sesuatu yang labil dan tidak pasti seperti harta, nafsu hewani, kedudukan, penghargaan orang lain atau apapun selain Allah. Hal ini akan membuat mental Anda lebih siap menghadapi kemungkinan apapun yang akan terjadi pada diri Anda.
3. Lakukan sesuatu dengan sungguh-sunguh dan sebaik-baiknya karena Allah dan ingatlah selalu Allah yang Maha Tinggi. Maka Anda akan mendapatkan hasil yang jauh berbeda dan jauh lebih baik.
4. Berpedomanlah selalu pada sifat-sifat Allah, seperti ingin selalu maju, ingin selalu adil, ingin selalu memberi kasih sayang, ingin selalu kreatif dan inovatif, ingin selalu bijaksana, ingin selalu memelihara, berfikir jernih, mau belajar sungguh-sungguh.
5. Bangun kepercayaan dari dalam diri, jangan karena penampilan fisik, tetapi iman andalan yang akan memancarkan kharisma.
6. Bangun motivasi Anda, karena Anda adalah makhluk Allah yang sempurna dan Anda adalah wakil Allah. Raihlah cita-cita dan harapan dengan kemauan yang kuat membara. Wallahu 'a'lam bishshowaab

Cobalah MencintaiNya

Cobalah Mencintai-Nya
eramuslim - Cinta mungkin sebuah kata agung yang paling sering membuat seseorang tergugu di hadapannya. Segala teori dan argumentasi yang dilontarkan akan lumpuh begitu saja saat kita sendiri yang mengalami bagaimana hebatnya cinta itu mempengaruhi diri kita. Mungkin sulit dipahami bagi orang yang sedang tak mencinta, bagaimana rasa cinta itu menjelma menjadi ratusan ribu pulsa telepon, berlimpahnya waktu untuk menunggu yang terkasih walau kita sedang dalam deadline ketat, terbuka lebarnya mata mengerjakan tugas-tugas demi membantu yang tersayang. Bongkahan pengorbanan yang tak rela dipecahkan...
Merasakan cinta seperti merasakan hangatnya matahari. Kita selalu merasa kehangatan itu akan terus menyirami diri. Setiap pagi menanti mentari, tak pernah terpikirkan akan turun hujan atau badai karena kita percaya semua itu pasti akan berlalu dan mentari akan kembali, menghangati ujung kaki dan tangan yang sedikit membeku. Mentari ada di sana, dan dia pasti setia.
Terkadang kita lupa, matahari yang hidup dan mengisi hidup itu adalah hamba dari Penguasa kehidupan, kehidupan kita, kehidupan matahari. Satu waktu matahari harus pergi, walau ia tak pernah meminta, walau pinta tak pernah kita ucapkan. Jadi, ia akan pergi, apapun yang terjadi. Karena ini adalah kehendak-Nya. Segala yang ada di dunia ini tidak pernah abadi, karenanya ia bisa pergi. Selamanya, bukan sementara. Inilah dunia. Senang atau tidak, kita hanya bisa terima. Mungkin kita ingin protes, ingin teriak; betapa tak adilnya! Tapi kita cuma akan dijawab oleh tebing karang yang bisu, atau lolongan anjing dari kejauhan yang terdengar mengejek. Mungkin kita kecewa dan ingin mengakhiri hidup. Mungkin kita begitu ingin memukul, tapi cuma angin yang bisa dikenai. Sekarang coba dulu lihat, apakah itu mengubah apa pun? Tak ada yang berubah kecuali semakin dalamnya rasa sakit itu.
Maka ketika kuasa-Nya yang mutlak menjambak cinta sementara kita pada matahari, kita bisa apa? Karena kita cuma hamba, kita cuma budak! Kita hanya bisa menelan kepahitan yang kita ciptakan sendiri.
Mungkin yang perlu kita jawab; mengapa kita melabuhkan cinta begitu besarnya pada manusia? Padahal kita tahu tak ada yang abadi di dunia ini. Mengapa?
Allah menciptakan cinta di antara manusia. Dia yang paling hebat, paling tahu bagaimana cinta itu, bagaimana mencintai, bagaimana dicintai. Kenapa kita begitu sok, merasa paling mencintai, merasa paling dicintai, merasa memiliki segalanya dengan cinta. Padahal cinta itu cuma dari manusia, untuk manusia. Dan suatu hari cinta itu akan hilang. Mungkin tak cuma pupus, tapi tak berbekas, tak berjejak. Hanya cinta yang begitukah yang kita inginkan?
Kenapa kita tak mencoba raih matahari cintanya Allah, yang tak pernah tenggelam dan tak pernah sirna. Tak pernah usang, tak hancur, dan tak akan pernah sia-sia. Mencintai Allah? Terlalu abstrak, terlalu aneh. Masa'? Itu karena kita tak pernah merasa dekat, tak pernah berusaha mendekati-Nya. Allah menjadi asing karena kita memposisikan Allah sebagai sesuatu yang berada di langit yang tinggi. Cinta yang hanya mekar semusim lalu luruh tak berbekas, bahkan wanginya. Percayalah... cinta yang ditawarkan-Nya tak pernah menguncup, mekar, atau luruh. cinta-Nya abadi, mekar selamanya. Dan Dia akan memberi kita cinta dari manusia. Mentari itu terus di sana, kapan dan di manapun kita ingin merasakan hangatnya. Kita punya cinta dari Allah.
Apakah kita tak berniat membalas ketulusan cinta itu?

Cintamu Abadi, Wahai Khubaib

Cintamu Abadi, Wahai Khubaib!
Oleh cinta,sang pribadi kian abadi.Lebih hidup, lebih menyala, lebih berkilau.(Sir. M Iqbal)
Apa kabar sahabat ? Tidakkah Allah masih menumbuhkan kuku-kuku jarimu hingga tanganmu perkasa melakukan banyak hal ? Pada jenak ini, indera pandanganmu masihkah mampu membaca tulisan saya ini dengan baik ? Udara masih terjaga bukan untuk mengisi penuh paru-parumu hingga kau bernafas dengan leluasa? Dan jantungmu masihkah pula berdetak untuk mereguk sisa porsi waktu ? Jika demikian, saya pasti mendapat jawaban. Alhamdulillah luar biasa” untuk pertanyaan pertama.
Sahabat, pinjam waktumu sebentar. Bersiaplah untuk sejenak mengalun bersama kisah seseorang. Insya Allah sebuah kisah cinta, yang mudah-mudahan pesonanya membuat kita juga menjadi sepertinya. Menjadi seorang pecinta.
Sahabat, hafalkan dengan baik nama yang mulia ini, meski untuk itu, engkau harus pula bersusah payah. Bergegaslah mempersiapkan sebuah ruang dalam benak, untuk mengingatnya. Hingga suatu saat, kau mampu menebar hikmahnya kepada yang lain. Dan Insya Allah, hal ini adalah ekspresi cintamu, sama seperti tokoh utama pada kisah berikut. Seorang pecinta.
***
Seorang ksatria tengah tersenyum. Lembah Badar baru saja usai dari sebuah peperangan. Pekikan semangat Allah Maha Besar tak lagi terdengar. Senjata saling beradu sudah tak terjadi. Sebuah kemenangan baru saja tergenggam. Kaum kafir Quraisy beranjak pulang tanpa kepala yang tegak. Mereka merunduk malu setelah meneguk sebelanga pahit kekalahan. Tak pernah mereka kira jika manusia-manusia pencinta Muhammad, lebih memilih darahnya tumpah dibanding melihat Al-Musthafa terkena seujung kuku senjata. Untuk mereka, hari itu adalah kisah kelam yang amat sulit terlupa.
Cinta kepada Nabi yang Mulia menyemerbak di Lembah Badar. Nafas di raga bukanlah apa-apa dibandingkan keselamatan Al-Amin dan tegaknya Islam yang agung. Seorang ksatria masih saja tersenyum. Hatinya berbunga, karena Al-Harits bin Amr bin Naufal meregang nyawa di ujung pedangnya. Ia sungguh senang, bangsawan sekaligus pemimpin Quraisy pengganggu purnama Madinah itu, kini mati. Hari itu ia adalah salah satu perindu surga. Hari itu ia adalah salah seorang sahabat yang membuktikan kecintaannya kepada Rasulullah dengan turut menjadi pasukan para pemberani. Hari itu, ia adalah seorang ksatria pembela agama, yang kemudian cintanya abadi. Khubaib bin ’Ady.
***
Suara Rasulullah memenuhi udara. Mesjid hening mendengar tuturnya. Semua pandangan berarah pada satu titik. Di sana, di atas mimbar, sesosok cinta tengah berdiri, memandang syahdu mereka semua. Dari bibir manisnya terlantunkan sebuah titah. Aku, baru saja didatangi, utusan dari kabilah ’Udal dan Qarah. Berita tentang Islam telah sampai kepada mereka. Mereka sungguh berharap orang-orang yang akan membagi cahaya kebenaran, yang akan menghunjamkan bahwa Allah adalah Esa, yang akan mengajarkan Islam. Akan ada dari kalian yang terpilih untuk mengemban amanah itu. Sesaat, Purnama Madinah menyapu pandangannya ke setiap penjuru. Para sahabat, tiba-tiba saja membusungkan dada, dan menegakkan kepala, seperti ingin dilihat Nabi. Setiap dari mereka berharap bisa dipilih sebagai duta. Padahal, ada beberapa dari sahabat yang masih terluka karena peperangan Badar. Melihatnya, Nabi tersenyum, bahagia berkelindan di sepenuh kalbu. Selanjutnya Nabi menyebut nama-nama, sepuluh orang terpilih. Ada satu nama di sana. Nama seorang ksatria. Khubaib bin ‘Ady.
***
Esoknya, dihantarkan do’a yang dialunkan, mereka berperjalanan. Bersemangat mereka pergi. Sesungguhnya mereka tahu, perjalanan itu tidaklah untuk bersenang. Mereka tahu, akan ada hal-hal yang tak terduga. Orang-orang kafir dari kabilah yang mendiami lembah-lembah bisa kapanpun menghadang dan membunuh mereka. Namun, kecintaan kepada Nabi yang Ummi, keimanan yang bersemayam dalam dada, membuat mereka berpantang menyurutkan langkah.Benar saja.
Dari sejarah, kita tahu ketika mereka sampai di daerah antara Usfan dan Makkah, sebuah perkampungan dari suku Hudzail yang dikenal dengan nama Banu Lihyan, para kafir mencium keberadaan mereka. Hampir seratus penduduknya memburu para duta Rasulullah. Tujuannya tidak lain, membunuh dan membuat para pengikut Rasulullah itu kembali kepada ajaran nenek moyang Arab. Orang-orang dari suku Hudzail itu terus membuntuti mereka, beratus anak panah disiapkan.Sebuah ujian, Allah berikan kepada para pemberani, didikan Rasulullah. Mereka ditemukan para penyembah berhala tengah berlindung di sebuah bukit. Riuh rendah, gerombolan itu mengepung dan berteriak lantang :”Kami berjanji tidak akan membunuh kalian, jika kalian turun dan menemui kami”.
“Kami tidak menerima perlindungan orang kafir “ seru Ashim, yang diamanahi Rasulullah sebagai pemimpin para utusan.
Mendengar itu, gerombolan itu menyerbu dan memanah mereka satu persatu. Para pencinta Rasul dan agama itu roboh. Ada yang luput dari panah dan pembunuhan itu. Tahukah kalian siapa dia? Ya.. dia adalah ksatria itu. Khubaib bin ‘Ady
***
Khubaib dibawa ke Makkah. Seperti mengikat unta, ia diiringkan. Dan dengan harga yang mahal, Khubaib dijual sebagai budak, kepada keluarga Al-Harits. Seluruh keluarga itu, bersuka cita, pembunuh kepala keluarga, Al-Harits bin ‘Amr bin Naufal di peperangan Badar, kini berada nyata di tengah mereka. Para wanita bersyair dan berpesta. Bara dendam semakin berkobar. Darah harus dilunasi dengan darah. Ksatria pencinta Rasulullah itu tetap bertenang. Khubaib kemudian ditawan. Ia dirantai seperti binatang peliharaan di halaman rumah Banu Harits. Mereka membiarkan Khubaib kedinginan di malam-malam gulita.
Mereka menyaksikan Khubaib di terik panas matahari. Mereka tidak memberi Khubaib makan dan senang dengan haus yang Khubaib derita. Suatu hari, seorang anak kecil merangkak menjumpai Khubaib. Khubaib menyambutnya dengan senyum tulus, dibiarkannya anak kecil itu bermain-main di paha lelahnya. Mereka bercengkrama dalam keakraban, hingga wanita dari keluarga Harits berteriak penuh kekhawatiran. Tahukah apa yang diucapkan Khubaib :“Tenanglah duhai ummi, Rasulullah tidak pernah mengajarkan aku membunuh seseorang yang tidak berdosa. Ia hanya ingin bermain-main.”
Si ibu segera merengkuh si kecil, dan dengan penuh keheranan ia memandang setangkai besar anggur yang berada di samping Khubaib. Makkah tidak sedang musim buah. Seluruh keluarganya tak ada satupun yang rela memberi makanan. Sedang Khubaib di rantai besi. Bagaimana mungkin buah ranum itu berada di sana. Masih dengan takjub, ia berkata :“Aku tidak pernah melihat tawanan sebaik engkau duhai Khubaib. Anggur yang berada di sampingmu adalah rezeki bertubi yang Allah turunkan kepadamu.” Khubaib tersenyum.
***
Hari sudah sampai di pertengahan. Terik matahari, debu-debu yang berterbang garang di antara jubah indah yang dikenakan para pemuka Quraisy, hingga kilau pasir sahara yang panas tak terkira, menemani Khubaib yang tengah mendirikan shalat dua rakaat panjang. Ia masih ingin shalat sebenarnya, menjumpai zat yang dicinta sepenuh jiwa, Allah. Ia berkata kepada orang-orang Quraisy yang menyemut memperhatikannya “ Demi Allah, jika bukanlah nanti ada sangkaan kalian bahwa aku takut mati, niscaya aku menambah shalatku”. Yah, mereka memutuskan hari itu, Khubaib harus pergi selama-lamanya. Beberapa dari orang Quraisy kini tengah bersiap dengan pelepah kurma yang mereka jelmakan serupa kayu salib raksasa. Tubuh Khubaib kemudian diikat kukuh disana.
Khubaib mengatupkan kelopak mata, mengheningkan semua rasa yang meruah tumpah. Sesaat ia seperti terbang ke jauh angkasa. Salib pelepah terpancang sudah. Khubaib membuka mata, hamparan sahara terlihat mempesona. Di bawah sana berpuluh pasang mata menatapnya lekat. Khubaib memandang tangan mereka, beratus runcing anak panah tergenggam, beratus senjata tajam terkepal.
Di ketinggian, dengan sepenuh kalbu, Khubaib mengalunkan syair indah, mengenang cinta manusia terpilih yang mengirimnya untuk sebuah amanah indah. Merengkuh kembali ingatan atas sabda dari bibir manis Rasul mulia, syahid di jalan Allah akan menghantar setiap jiwa bertamasya di surga. Tiba-tiba saja Khubaib merindukan Al-musthafa. Tiba-tiba saja, ia menginginkan kembali saat-saat ia terpesona dengan wajah rembulah Rasulullah. Betapa ingin ia menjumpai manusia sempurna itu untuk menuntaskan utuh kerinduannya. Angin sahara menghantar suara Khubaib, membuat langit bersuka atas setiap untaian katanya :”Mati bagiku tak menjadi masalah”.Asalkan ada dalam ridha dan rahmat Allah.Dengan jalan apapun kematian itu terjadi.Asalkan kerinduan kepada Nya terpenuhi.Ku berserah kepada Nya.Sesuai dengan takdir dan kehendak Nya.Semoga rahmat dan berkah Allah tercurah.Pada setiap sobekan daging dan nanah. Ucapan Khubaib terhenti.
Beratus anak panah menghunjam tubuhnya. Pepasir Jan’im tersaput darah yang tumpah. Tubuh Khubaib perih. Tubuh Khubaib terkoyak. Luka menganga dimana-mana, namun jiwanya merasakan ketenangan yang tak pernah diresapi sebelumnya. Suara lesat anak panah terdengar riuh. Tenaga Khubaib melemah, dengan pandangan yang kian samar, ia menengadah. Ia tak perkasa bertutur lagi. Hingga doa yang ia pinta, hanya terdengar lirih di lengang udara:
Allahu Rabbi, ku telah menunaikan tugas dari Rasul Mu,Maka mohon disampaikan pula kepadanya,Tindakan orang-orang ini terhadap kami.
Sesaat kemudian tubuh Khubaib sunyi, sesenyap lembah yang ditinggalkan para kuffar setelah puas melihat nyawanya terhembus dari raga. Angkasa berdengung menyambut ruh ksatria perindu surga. Khubaib kembali, menuju Allah yang Maha Tinggi.
Tak seberapa lama, burung-burung bangkai memutari tubuh Khubaib yang masih mengucurkan darah. Berombongan mereka terbang datang dari kejauhan. Namun, Allah mencintai mu wahai Khubaib. Dengan cinta yang paling berkilau menyala. Dengan rahmat Nya, tak satupun burung pelahap bangkai dan nanah itu menyentuh tubuhmu yang dipenuhi panah. Satu persatu burung bangkai menghambur pergi, mengepak sayap terbang teramat jauh. Tubuhmu semerbak wahai Khubaib, hingga mereka malu dan tak mampu menyentuh meski hanya setipis kulit.
Allah mengabadikan cinta Khubaib. Doa Khubaib sebelum syahid dikabulkan. Kerinduan Khubaib saat akan dibunuh, sampai juga kepada Rasulullah di Madinah. Rasulullah merasakan sesuatu yang tak biasanya, sambil tertunduk ia terkenang seseorang yang tak diketahuinya. Ia memohon petunjuk Allah, dan tergambarlah sesosok tubuh yang melayang-layang di udara. Segera saja Nabi mengutus Miqdad bin ‘Amn dan Zubair bin Awwam untuk mencari tahu. Sebelum keduanya pergi, suara Al-Amin terdengar syahdu dan penuh rindu “Paculah kuda kalian seperti kilat, aku sungguh mengkhawatirkannya”.
Allah mengarahkan dan memudahkan perjalanan kedua sahabat. Mereka takjub melihat tubuh Khubaib yang masih utuh. Dalam hening, mereka menurunkan tubuh yang semerbaknya tidak hilang. Bumi menyambut Khubaib, akhirnya setelah sekian lama menunggu, bumi mendapat kehormatan untuk merengkuh dan memeluk Khubaib sepenuh cinta.Kisah Khubaib berakhir di sana, namun di hati para perindu surga, Khubaib tetaplah hidup, menggelorakan cinta yang tiada pernah berakhir. Cinta yang abadi.
***
Sahabat, kadang saya senang berandai-andai. Andai Purnama Madinah itu bisa saya temui sekarang, andai Al-Musthafa itu mampu saya hubungi melalui telepon, andai manusia berparas rembulan itu bisa saya kirimi pesan singkat sms. Satu hal yang ingin saya sampaikan kepadanya, “Meski tidak sekemilau cintanya Khubaib, meski tidak sebenderang cinta Khubaib, tidak seberdenyar cinta Khubaib, tidak seabadi cinta Khubaib, perkenankanlah saya mencintaimu wahai kekasih yang ummi, dengan sebentuk cinta yang sederhana, dengan cinta yang tertatih ringkih, dengan cinta yang lahir dari hati yang kadang ujudnya buruk rupa

Cinta Versus Nafsu

Maafkanlah, karena itu lebih mulia” Itulah salah satu pesan Rasulullah yang sangat terkenal. Membalas perlakuan tak adil dan kezhaliman dari seseorang, tidak dilarang. Namun tentu ada alasan yang sangat khusus mengapa Rasul menganjurkan ummatnya untuk memberikan maaf kepada orang zhalim.
Mari kita lihat ulang soal maaf memaafkan ini. Perintah Allah berkenaan dengan “maaf” ini termaktub dalam Qur’an Surat Ali Imran ayat 134: “... dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang”. Menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain, merupakan dua dari ciri orang yang bertaqwa. Nampaknya seperti sesuatu hal yang sangat sepele, dan tak sedikit orang yang menganggap itu sebagai hal biasa yang teramat mudah. Padahal, sungguh teramat berat untuk bisa melakukannya, jika bukan karena seseorang itu telah memiliki kebersihan hati dan ketulusan cinta kepada Allah Swt.
Ada satu hadits yang termasuk dhaif, namun dalam hal ini bisa diambil hikmahnya. Usai perang Badr yang terkenal sebagai salah satu perang terbesar dalam sejarah Islam, seorang sahabat mengatakan, “Kita baru saja melakukan peperangan terbesar” Kemudian Rasulullah berkata: “Tidak, perang terbesar adalah perang melawan hawa nafsu”. Meski terbilang hadits dhaif, tak ada salahnya jika kita sepintas “sepakat” bahwa mengendalikan hawa nafsu tidaklah ringan. Kalaulah kita mau membuka catatan sejarah perjalanan hidup manusia, betapa hawa nafsu sudah terlalu sering mengalahkan manusia, bahkan sejak manusia pertama diciptakan.
Adam alaihi salam yang telah diberikan limpahan nikmat oleh Allah berupa kesenangan dan kebahagiaan hidup di surga yang tak berkekurangan. Masih ditambah nikmat itu dengan dihadirkannya Hawwa sebagai pelengkap hidup yang membawa kedamaian dan ketentraman. Cukupkah Adam? Ternyata tidak. Syetan menggelincirkan dua manusia itu hanya dengan rayuan buah keabadian yang dihembuskan syetan. Adam (juga Hawwa) tak mampu membendung nafsunya untuk tidak menyentuh buah “terlarang” tersebut. Berlanjut kepada keturunan Adam, Qabil tega membunuh saudara kandungnya sendiri Habil demi mendapatkan calon istri Habil yang lebih cantik.
Sejarah juga mencatat nama-nama lain dari zaman ke zaman, Fir’aun dan sederet nama haus kekuasaan di muka bumi ini akan selalu menjadi catatan hitam keserakahan manusia. Begitu juga dengan Qarun dan sejumlah nama orang-orang yang rakus harta. Seiring bergulirnya masa, nafsu manusia pun terus berkembang dan semakin tak terkendalikan. Sedikit punya kuasa, ingin punya harta dan kemudian wanita. Terus dan terus meningkat, ingin meningkatkan kekuasaannya, melebihkan hartanya dan memperbanyak wanitanya. Tidak berhenti sampai disitu, kenikmatan dunia yang telah memalingkannya dari Allah membuatnya cinta akan dirinya, cinta akan dunianya. Dan itu akan melambungkan dirinya kepada kesombongan, dan mengagungkan harga diri yang diukur dengan parameter kekuasaan, kekayaan, kecantikan, ketampanan dan ukuran materi lainnya.
Hingga saat ini, takkan pernah terhitung jumlah orang-orang yang pernah terjerumus dan akhirnya jatuh oleh karena memperturutkan nafsunya. Namun demikian, jangan lupa bahwa sejarah pun mencatat dengan tinta emas orang-orang yang menang melawan hawa nafsunya. Orang tentu tak akan lupa dengan nama Yusuf alaihi salam yang menampik rayuan Zulaikha yang cantik jelita, Ali bin Abi Thalib yang urung menebas leher musuhnya setelah sang musuh meludahi wajahnya. Alasannya, ia tak ingin amarah dan nafsunya yang menjadi alasan utama saat ia menghujamkan pedangnya. Siapa yang tak ingat betapa besar kecintaan Abu Bakar kepada Allah dan rasul-Nya sehingga menginfakkan semua harta miliknya hingga tak tersisa untuk perjuangan Islam.
Manusia bisa menjadi sangat mulia karena menahan dan mengendalikan nafsunya. Sebaliknya, manusia mulia pun akan teramat hina dan menjijikkan ketika sedetik saja tak kuasa mengendalikan nafsu. Sebagai contoh, amarah, yang merupakan satu bagian kecil dari semua hawa nafsu yang ada pada diri manusia, akan sangat berpotensi membuat seseorang menjadi sangat hina. Orang yang tak dapat mengendalikan amarahnya, akan terlihat seperti orang bodoh, bahkan gila. Dan ujungnya, bisa dipastikan adalah penyesalan.
Pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan sejumlah peristiwa lain yang terjadi di muka bumi ini, sumber utamanya adalah nafsu yang tak terkendali. Oleh karenanya, jangan pernah menyepelekan pentingnya menata hati, membersihkan jiwa dan mengendalikan diri. Karena bukan tak mungkin, pada saat lengah, orang baik dan mulia pun bisa tersungkur oleh sebab nafsu yang tak terkendali itu.
Soal memaafkan misalnya, kenapa hanya dengan memaafkan manusia menjadi lebih mulia? Jawabannya tentu sudah menjadi jelas sekarang. Ketika seseorang memperturutkan nafsunya dan tak mempu menahan amarahnya, saat itulah pintu terbuka bagi masuknya syetan ke dalam hati manusia untuk terus memanasi setiap relung di dalamnya. Hingga pada hitungan detik berikutnya, saat api amarah menyala, tak pelak lagi balasan terhadap perlakuan orang lain yang dilakukan biasanya jauh lebih besar, dan lebih menyakitkan. Disinilah syetan berperan menciptakan ketidakadilan, dan kemudia ia juga yang menghembuskan aroma ketidakadilan tersebut kepada lawannya untuk membalas kembali ketidakadilan itu dan seterusnya. Pada akhirnya, syetan akan tertawa melihat dua anak, dua kelompok manusia saling baku hantam.
Padahal, kalau saja ia mau memaafkan kesalahan (atau kezhaliman) orang lain, sikap itu tentu tidak akan menjatuhkan derajatnya dimata orang yang menzhaliminya. Seperti halnya Rasulullah yang kerap memaafkan orang yang meludahinya setiap hari, derajatnya tak pernah jatuh sekalipun ia justru menjadi orang yang pertama menjenguk ketika si peludah itu menderita sakit.
Itu baru sekedar masalah maaf memaafkan, bukankah jauh lebih mulia orang-orang yang tak serakah harta, mereka yang tak ambisi kekuasaan dan jabatan, juga pria-pria dan wanita yang tak memperturutkan syahwatnya pada jalan yang halal? Adakah yang lebih mulia dari orang-orang yang mampu menahan dan mengendalikan nafsunya karena takut kepada Allah?
Hawa nafsu, dari yang kecil seperti bangga diri, tak mampu menahan amarah serta tak mau memaafkan kesalahan orang, sampai yang besar seperti rakus harta, kekuasaan dan juga nafsu syahwat. Semuanya adalah karena kelengahan kita yang membiarkan pintu-pintu hati ini terbuka bagi masuknya syetan yang memang senantiasa menantinya celah kelengahan manusia.
Cinta yang tulus kepada Allah akan membuahkan cinta dan kasih sayang yang juga tulus dari Allah kepada hamba-Nya. Dan dengan cinta dan kasih sayang yang Allah tanamkan itulah, manusia mencintai, mengasihi juga menyayangi sesama makhluk. Jika yang demikian yang dimiliki oleh manusia selaku hamba Allah, tidak akan pernah cinta berubah menjadi amarah, tak akan pernah kasih dan sayang tertandingi oleh ganasnya hawa nafsu. Orang yang marah hanya karena kekhilafan manusiawi orang lain, berarti ia hanya mencintai dirinya sendiri. Salah satu parameter orang yang mencintai dirinya sendiri adalah, terluka, terhina, atau menaruh dendam terhadap orang yang menyakitinya, menzhaliminya, atau mengkhianatinya. Hamba yang dipenuhi hatinya dengan kasih tulus dari dan karena Allah, tidak akan ada ruang kosong dalam hatinya untuk rasa benci, amarah, apalagi dendam. Jika untuk hal kecil saja tak ada ruang, apatah lagi untuk nafsu-nafsu besar lainnya.
Seandainya David J Schwartz adalah seorang muslim, tentunya dia akan menjadikan Rasulullah dan sederet nama-nama yang memenangkan hawa nafsunya sebagai refrens dalam bukunya yang amat terkenal, “Berpikir dan berjiwa besar”.
Selain terus menanamkan cinta tulus kepada Allah, sejatinya kita senantiasa menjaga agar hati ini terus terlindungi agar tak kotor, agar tak terbuka celah masuknya syetan yang menggerogoti benteng-benteng ketegaran di dalamnya. Menentramkan hati dengan dzikir (mengingat Allah) sebagai bukti cinta seseorang terhadap Dzat yang dicintainya, adalah terapi yang tak terbantahkan setiap orang yang mendambakan ketenangan hidup. Selain dzikir, qona’ah dan ikhlas dalam menjalani hidup semestinya juga menjadi modal utama ditengah ganasnya terpaan nafsu yang terus dipanas-panasi oleh syetan.
Setelah itu, tak ada lagi yang menjadi kepuasan dari seorang hamba di dalam hidupnya ketika kelak mengakhiri hidup tetap dalam kemuliaan. Sehingga meski tak sedikitpun terbetik niat mengukir nama dalam sejarah manusia yang memenangkan pertarungan melawan hawa nafsu, siapapun yang mengenalnya akan tetap menjadikannya figur dan teladan yang pantas untuk diikuti jejaknya, jika ingin mendapatkan kemuliaan dihadapan Allah. (Bayu Gautama, thanks 4N)
December, 29, 2002
ARTI KEMULIAAN | muslimmuda
Hari mulai memasuki senja. Namun apa maknanya sebuah senja bagi penduduk kota? Senja hanyalah sebuah babak baru dalam hari mereka yang mengantarkan pada kesibukan yang lain. Bahkan juga tak ada maknanya mentari yang hampir tenggelam di langit barat kota itu, karena debu polusi telah menutup keindahannya. Orange telah tercampur hitam pekat.
Polusi itu pun diserakkan oleh angin yang menyentuh semua penghuni senja tak terkecuali. Tak peduli pada Meli dan dua orang kawannya yang kini tengah berdiri di tempat parkir di sebuah Mal di Jakarta, yang sedang membenahi rautnya di samping sebuah mobil Kijang yang diparkir, angin senja juga turut menepis muka yang sedang didandani oleh masing-masing mereka, tepat ketika seorang pengamen cilik mendekati tiga dara tersebut.
Pengamen cilik itu menyenandungkan lirik-lirik yang mencoba mengetuk hati mereka dibalik baju seronok yang mereka pakai. Sebait dua bait, bersama alat musik yang terbuat dari tutup-tutup botol yang disatukan pada sebuah kayu sehingga mengeluarkan bunyi kecrekan yang khas. Namun pada akhirnya bait-bait itu dibayar dengan bentakan.
“Pergi luh sono. Brisik tau!” Bentak Meli tanpa membuyarkan tatapannya pada cermin kecil yang sejak tadi dipakai untuk memantau penampilannya untuk menyambut sebuah kesibukan yang rutin.
Sang pengamen, tanpa harus dibentak dua kali, mencabut kakinya untuk kemudian dilangkahkan pada sembarang orang yang berada di sekitar itu.
“Mel, gimana sih lu. Jangan kasar gitu dong sama anak kecil. Nggak punya nurani apa lu?” Ujar Tika, kawannya yang juga sedang memoleskan kepalsuan pada mukanya.
“Ih, gua jijik ngeliatnya tau. Dekil, ingusan, kumel. Bener-bener rendahan.”
“Rendahan? Tinggian dia dari pada lu, tau?” kali ini Gita, salah satu personel kawanan itu menukas.
“Tinggian dia? Cih, jijay bajaj.” Ujar Meli.
“Seenggaknya pekerjaan dia itu lebih mulia dari pada lu. Dia nggak nyampe ngorbanin harga dirinya.” Gita meninggi.
“Harga diri? Setau gua orang kayak gitu nggak punya harga diri deh. Lagian, apa lu nggak mikir, kerjaan kita sama lagi.”
“Iya, gua ngaku kalo pekerjaan gua ini ngorbanin harga diri gua. Gua ngaku kalo gua ngejual diri gua ke orang laen. Dan gua akuin itu. Nggak kayak lu yang nggak mau ngaku. Dan gua akuin kalo sebenernya diri gua lebih rendah dari anak tadi. Anak tadi nggak nyampe ngejual kehormatan dia, nggak kayak gua. Dan juga nggak kayak lu.”
“Kehormatan? Ih, orang kayak dia itu yang nggak punya kehormatan.”
“Dasar nggak tau diri lu. Gua walaupun lebih lama jadi boleng dari pada lu, tapi gua ngerti apa itu kehormatan.”
“Eeeh, udah-udah. Jangan pada berantem. Udah saatnya cari obyekan nih. Yuk!” Tika melerai pertengkaran itu.
Kemudian, tiga dara itu melangkah ke Mal yang adalah pabrik tempat mereka memproduksi kehidupan. Ya, kehidupan ciri mereka.

*****

Dari dalam BMW hitam, Meli melempar pandangannya pada sekelompok anak-anak yang masih juga berkeliaran pada permulaan malam. Mereka masih dengan kecrekan khas mereka, masih dengan suara khas mereka, masih dengan kelusuhan mereka, menghampiri tiap mobil yang tertahan oleh lampu merah di sebuah perempatan. Pandangan yang terlontar itu terpotong oleh sebuah sentuhan di bahu Meli.
“Ngeliat apa Mel?” Tanya seorang laki-laki separuh baya yang berada di depan stir, yang telah melakukan transaksi dengannya sore tadi melalui sebuah calo.
“Bukan apa-apa, Om. Meli cuma... ngeliat pengamen-pengamen cilik itu, Om.”
“Wah, punya jiwa sosial juga kamu.”
“Saya beruntung, tidak seperti mereka. Bisa hidup lebih layak dari mereka.”
“Hahahaha...” laki-laki itu tertawa.
Lampu lalu-lintas berubah hijau. BMW itu melaju, membawa angan Meli yang terpental pada kehidupan masa kecilnya. Di mana Mama dan Papanya masih berada di sampingnya menemani keceriaan hari-hari yang begitu indah.
Saat Mamanya senantiasa memberi pengarahan tentang arti kemuliaan.
“Meli, kamu nggak boleh males belajar. Nati kamu bodoh, tau. Kalau bodoh kamu nggak bisa jadi kaya. Nggak bisa beli kue. Nggak bisa beli ciki. Nggak bisa beli boneka berbi. Nanti kamu kayak anak gelandangan yang di pasar-pasar itu. Mau kamu? Nggak enak kalo jadi miskin itu.” Ujar mamanya suatu waktu ketika ia sedang malas belajar dan hanya berada di depan televisi seharian.
Begitulah, mama Meli senantiasa memperkenalkan kekayaan harta kepada Meli sebagai sebuah kemuliaan yang harus dicapainya. Kekayaan menjadi ukuran kemuliaan bagi setiap orang. Mama Meli tak segan menjadikan adiknya sendiri yang hidupnya lebih susah dari beliau sebagai contoh.
“Liat tante Riska. Melarat. Itu kan gara-gara kerjaan suaminya cuma tukang. Kalo kamu pinter kan bisa cari kerja yang bagus. Bisa kaya. Bisa beli rumah bagus, beli tempat tidur empuk, beli tipi bagus. Nggak kaya tante Riska.”
Seperti mamanya, papa Meli juga tak kalah sering mencekoki Meli dengan standar kemuliaan itu. Suatu ketika Meli pernah mendengar dialog antara papanya dengan adik papanya.
“Rudi,” Papa Meli menukas, “kamu harus punya iman yang kuat. Biar nggak gampang stres. Nanti, bakalan banyak orang-orang depresi di dunia ini. Kenapa? Karena mereka nggak punya pegengan yang kuat. Mereka itu... apalah yang dicarinya lagi. Apa-apa terpenuhi. Sehingga mereka nggak lagi punya tujuan hidup.
Kalo orang seperti kita kan tujuan hidupnya jelas. Kita ingin kehidupan yang layak. Ingin punya rumah yang bagus.Ya, itulah tujuan hidup kita. Kalau orang yang sudah kaya itu, mereka akan stres karena sudah nggak punya lagi tujuan hidup.” Begitu nasehat papanya yang dari situ Meli mengerti apa arti tujuan hidup.
Maka tertanamlah pada sanubari Meli tentang ukuran kemuliaan itu yang sekaligus menjadi tujuan hidupnya. Dan kehidupan Meli pun selalu bersandar pada ukuran tersebut. Ia tak akan berkawan kecuali dengan orang yang memenuhi standar kemuliaan yang sama. Kawan-kawannya semuanya berasal dari kalangan mulia.
Hingga sampai suatu saat papanya wafat, tiga tahun lalu. Kehidupannya berubah drastis. Ia yang kala itu harus berpisah dari Bandung untuk menempuh studinya di Depok, terpaksa berangsur-angsu turun derajat. Kosnya tak lagi di tempat yang mewah. Bahkan Hadphonenya terjual. Benar-benar Meli turun derajatnya oleh karena kematian papanya.
Meli yang telah tertanam dalam hatinya tentang arti kemuliaan, berusaha mendapatkan kemuliaan itu kembali. Ia mencoba mencari kerja ke sana kemari. Namun ia selalu gagal. Ia belum juga mampu menutupi kekurangan akibat minimnya kiriman ibunya. Hingga akhirnya dia berkenalan dengan Gita dan Tika yang memberinya pekerjaan seperti sekarang ini. Meli pun mendapatkan kehidupannya kembali. Kosannya kembali mewah. Handphone kembali berdering.
Pekerjaan hina yang ia tahu dari ibunya hanyalah pekerjaan yang tidak membuat orang mapan secara ekonomi. Seperti tukang yang dilakukan suami tante Riska. Itulah yang hina. Atau seperti pengemis dan pengamen di jalan yang tak kunjung membuat orang menjadi kaya.
Baginya, pekerjaan apa pun yang membuat orang kaya itu adalah pekerjaan yang mulia. Termasuk pekerjaannya saat ini, dimana kini ia tengah berada di samping seorang pengusaha yang sedang memacu BMW-nya menuju daerah Puncak.
Malam itu, Meli mencoba menggapai sebuah harga kemuliaan yang telah diperkenalkan oleh mamanya. Sedikit disadarinya, Tuhan tidak suka akan pekerjaan itu. Sehingga kejadian berikutnya ketika Meli pulang dari Puncak, Tuhan menegurnya – atau mungkin mengazabnya – di suatu tikungan di mana sebuah mobil yang hendak menyalip mobil lainnya tiba-tiba telah melaju kencang di hadapan sedan yang ditumpangi Meli. Itu peristiwa terakhir yang diingat Meli yang kemudian dibawa kerumah sakit terdekat di mana kakaknya bekerja sebagai perawat di sana rumah sakit itu.

*****

Saat Meli membuka matanya, Meli mendapatkan seorang wanita berjilbab putih lebar memeluknya, mencium keningnya, dan kemudian berkata, “Meli, kamu udah sadar, Dek.”
Begitu Meli akan bergerak, terasa oleh Meli sakit sekujur tubuhnya. Sesaat kemudian ia menyadari muka dan badannya terbalut perban. Dan selang-selang infus malang-melintang di badannya. Ia sedang di rumah sakit pada sebuah kamar kelas tiga.
“Kamu udah pingsan tiga hari lho, Dek.” Wanita itu kembali berkata sambil menyeka air matanya.
“Kakaak...” Hanya itu yang mampu Meli katakan.
“Jangan bergerak dulu dek. Untung kamu selamat. Padahal teman kamu...”
Tiba-tiba detak jantung Meli berdegup begitu kencangnya. Ketahuan sudah oleh kakaknya, ia telah berada di samping seorang laki-laki pada hari itu.
Selanjutnya tercipta suasana hening di antara mereka berdua. Keheningan yang dilatari oleh sedikit keramaian para penjenguk di kamar itu. Sedikit isak tangis kakak Meli mencoba mewarnai keheningan.
“Kenapa kamu bisa bersama laki-laki yang bukan muhrim kamu, Mel?” Akhirnya kakak Meli membuka suara, yang telah berlalu waktu cukup lama tidak juga dijawab oleh Meli.
“Kenapa Meli? Apa sih yang kamu kerjakan? Meli sadar nggak sih ngelakuin pekerjaan itu?”
“Kak, Meli terpaksa nemenin Oom itu. Setelah papa meninggal, Meli nggak dihormatin lagi sama kawan-kawan. Meli nggak punya handphone lagi. Meli nggak bisa tinggal di tempat kos mewah lagi. Meli nggak bisa lagi makan di restoran mewah. Meli malu, Kak. Uang jajan yang dikirim mama nggak cukup.”
“Apa nggak ada pekerjaan laen?”
“Udah Meli cari, Kak. Tapi gajinya nggak seberapa dibanding pekerjaan ini.”
“Tapi itu kan pekerjaan yang nggak bener.”
“Nggak bener? Meli nggak jadi pengemis kok, Kak. Buktinya dengan pekerjaan itu, Meli bisa kaya. Dengan pekerjaan itu Meli bisa ngedapetin lagi apa-apa yang hilang setelah kematian papa. Meli pegang teguh kok pesen Mama bahwa Meli nggak boleh jadi orang miskin. Meli juga bisa bayar kamar kelas satu kok di rumah sakit ini. Kenapa Meli ditempatin di kelas tiga sekarang?” Ujar Meli membuat tangis kakaknya makin menjadi.
“Meli, persetan dengan semua yang diajarin sama mama. Setelah kakak besar, kakak jadi paham apa arti kemuliaan. Bukan seperti yang diajarin mama. Selama ini mama menyuruh kita pintar supaya kita bisa kaya. Selama ini mama sepertinya menanamkan pada kita kalo kekayaan itu segalanya. Itu nggak bener, Mel.
Meli, kamu seharusnya paham, bahwa ukuran kemuliaan itu ada pada ketaqwaan. Derajat seseorang nggak bisa diukur dengan kekayaan. Tapi dengan ketaqwaannya pada Allah. Kalo kita belajar, bukan supaya kita kaya kelak, tapi karena Allah meninggikan derajat orang yang berilmu. Meli, pahamin itu Mel.”
“Kak, Meli nggak ngerti apa yang kakak omongin. Meli tau deh, kalo kakak sekarang udah alim. Udah banyak ngerti agama. Tapi apa yang kakak dapetin sekarang? Hidup kakak biasa-biasa aja. Perawat nggak segitu gede gajinya. Suami kakak cuma wartawan, bukan menejer atau dokter. Kakak sebenernya bisa hidup lebih dari pada kayak sekarang, Kak. Dapet apa kakak dengan ngerti agama kayak gitu?”
“Ck, dunia ini bakal kita tinggalin juga kok, Mel. Liat aja Pak Joni yang kemaren kamu temenin. Villa yang dia punya di Puncak akhirnya dia tinggalin juga. Tiga perusahaan yang lagi naek daun, juga dia tinggalin. Siapa yang nyangka akhirnya dia lebih cepet lima tahun meninggalkan dunia ini dari perkiraan para dokter.”
“Kak, kenal dari mana dengan Pak Joni?”
“Jelas kenal. Dia kan salah seorang pengidap Aids. Dokter yang nanganin dia itu kenalan kakak.”
“Apa? Mbak, gimana dengan Meli.”
Pertanyaan meli hanya disambut dengan tangis oleh kakaknya.
“Bertobatlah dek. Pergunakan waktu beberapa tahun lagi ini. Allah Maha Pengampun.”
Senja melatari rumah sakit yang di dalamnya dua orang adik-kakak sedang menangis. Menangisi usia yang menyenja begitu awal pada salah seorang di antara keduanya.

Cinta Tak Terbalas

Kadang saya iri melihat orang-orang di sekeliling saya, disayangi oleh “seseorang”. Apalagi di bulan Februari. Di mana-mana nuansanya Valentine. Saya memang penganut “tiada pacaran sebelum akad”, tapi sebagai manusia kadang timbul juga perasaan ingin diperhatikan secara istimewa.

Saya tidak pernah tahu rasanya candle light dinner. Pun tidak pernah menerima bunga mawar merah. Tidak ada yang menawarkan jaketnya saat saya menggigil kedinginan. Atau berpegangan tangan sambil melihat hujan meteor. (Deuh, Meteor Garden banget! He..he...)

Yah, mungkin saya bisa merasakan sekilas hal-hal itu kalau saya sudah menikah. Mungkin. Mudah-mudahan. Tapi sampai saatnya tiba, bagaimana caranya supaya tidak kotor hati?

Lalu saya pun tersadar, tiga kata cinta yang saya rindukan itu sudah sering saya dengar. Orang tua saya selalu mengucapkannya. Memanggil saya dengan “sayang” betapapun saya telah menyusahkan dan sering menyakiti mereka. Mungkin mereka bahkan memanggil saya seperti itu sejak saya belum dilahirkan. Padahal belum tentu saya jadi anak yang bisa melapangkan mereka ke surga... Belum tentu bisa jadi kebanggaan... Jangan-jangan hanya jadi beban...

Tatapan cinta itu juga sering saya terima. Dari ibu yang bergadang menjaga saya yang tengah demam... Dari ayah yang dulu berhenti merokok agar bisa membeli makanan untuk saya... Dari teman yang beriring-iring menjenguk saya ketika dirawat di rumah sakit... Dari adik yang memeluk saya ketika bersedih. Dari sepupu yang berbagi makanan padahal ia juga lapar. Dari orang tua teman yang bersedia mengantarkan saya pulang larut malam. Betapa seringnya kita tidak menyadari...

Tidak hanya dari makhluk hidup. Kasih dari ciptaan Allah lainnya juga melimpah. Matahari yang menyinari dengan hangat. Udara dengan tekanan yang pas. Sampai cinta dari hal yang mungkin selama ini tidak terpikirkan. Saya pernah membaca tentang planet Jupiter. Sebagai planet terbesar di tata surya kita, Jupiter yang gravitasinya amat tinggi, seakan menarik bumi agar tidak tersedot ke arah matahari. Benda-benda langit yang akan menghantam bumi, juga ditarik oleh Jupiter. Kita dijaga! (Maaf buat anak astronomi kalau salah, tapi setahu saya sih kira-kira begitulah)

Di atas segalanya, tentu saja ada cinta Allah yang amat melimpah. Duh... Begitu banyaknya berbuat dosa, Allah masih berbaik hati membiarkan saya hidup... Masih membiarkan saya bersujud walau banyak tidak khusyunya. Padahal kalau Ia mau, mungkin saya pantas-pantas saja langsung dilemparkan ke neraka Jahannam... Coba, mana ada sih kebutuhan saya yang tidak Allah penuhi. Makanan selalu ada. Saya disekolahkan sampai tingkat tinggi. Anggota tubuh yang sempurna. Diberi kesehatan. Diberi kehidupan. Apalagi yang kurang? Tapi tetap saja, berbuat maksiat, dosa... Malu...

Tentu ada ujian dan kerikil di sepanjang kehidupan ini. Tapi bukankah itu bagian dari kasih-Nya juga? Bagaimana kita bisa merasakan kenikmatan jika tidak pernah tahu rasanya kepedihan? Buat saudaraku yang diuji Allah dengan cobaan, yakinlah bahwa itu cara Allah mencintai kita. Pasti ada hikmahnya. Pasti!

Jadi, selama ini ternyata saya bukan kekurangan cinta. Saya saja yang tidak pernah menyadarinya. Bahkan saya tenggelam dalam lautan cinta yang begitu murni.

Sekarang pertanyaannya, apa yang telah kita lakukan untuk membalasnya? Kalau saya, (malu nih..) sepertinya masih sering menyakiti orang lain. Sadar ataupun tidak sadar. Kalaupun tidak sampai menyakiti, rasanya masih sering tidak peduli dengan orang. Apalagi pada Allah... Begitu besarnya cinta Allah pada saya dan saya masih sering menyalahgunakannya. Mata tidak digunakan semestinya... Lisan kejam dan menyayat-nyayat... Waktu yang terbuang sia-sia...

Kalau sudah seperti ini, rasanya iri saya pada semua hal-hal yang berbau “pacaran pra nikah” hilang sudah. Minimal, berkurang drastislah. Siapa bilang saya tidak dicintai? Memang tidak ada yang mengantar-antar saya ke mana-mana, tapi Allah mengawal saya di setiap langkah. Tidak ada candle light dinner, tapi ada sebuah keluarga hangat yang menemani saya tiap makan malam. Tidak ada surat cinta, tapi bukankah Allah selalu memastikan kebutuhan saya terpenuhi? Bukankah itu juga cinta?

Entah cinta yang “resmi” itu akan datang di dunia atau tidak. Tapi ingin rasanya membalas semua cinta yang Allah ridhoi. Tulisan ini bukan untuk curhat nasional. Yah, siapa tahu ada yang senasib dengan saya J Yuk, kita coba sama-sama. Jangan sampai ada cinta halal yang tak terbalas

Cinta Sebatas Harta

Perempuan setengah tua itu segera membuka pintu rumahnya dengan
seonggok senyuman, menyambutku. “Anak-anak sedang keluar. Bapaknya lagi kerja!
Ayo masuk....” ungkapnya ketika saya tanyakan kemana suami dan anak-anaknya.
Sambil mempersilahkan saya duduk di sofa tuanya, sekilas terlihat kedua bola
matanya berkaca-kaca setelah menerima sebuah jilbab putih, kado kecil saya
kepadanya. Seolah sedang mencoba mengingat kejadian masa lalu.
“Siapa yang tidak menyukai harta banyak? Rasulullah SAW sendiri mengajarkan
falsafah untuk berdoa seolah-olah kita mati esok hari dan bekerja mencari harta
seolah-olah kita hidup selamanya. Saya sebagai manusia biasa, dibesarkan oleh
keluarga yang kurang mampu, sudah tentu berharap keluarga saya kelak, suami dan
anak-anak saya, tidak mengalami nasib yang sama menimpa saya. Sebuah cita-cita
seorang perempuan yang tidak terlalu muluk kan? Siapa pula yang tidak menyukai
persaudaraan? Merasa dicintai oleh anggota keluarga akan menciptakan suasana
batin tersendiri. Betapa lengkapnya jika kita memiliki kedua-duanya, harta dan
cinta saudara. Rasulullah SAW pula mengajarkan bahwa tidak akan dimasukkan
kedalam golongan orang-orang beriman selama tidak mencintai saudara-saudaranya
sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Namun siapa menyangka bahwa kaitan
cinta persaudaraan dan harta yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah ini
ternyata erat sekali? Bahwa hilangnya harta akan sanggup melenyapkan pula
cintanya”.
“Dua puluh tahun lebih suami saya bekerja sebagai pegawai negeri di suatu
institusi pemerintah. Selama itu pula kami belum mampu untuk membeli rumah.
Jangankan mendirikan sendiri, rumah kaplingan pun kami belum mampu mengangsur.
Dua anak kami yang terpaut hanya dua tahun usianya semakin besar saja dan
membutuhkan pendidikan yang tidak lagi sedikit beayanya, sebagaimana tuntutan
generasi mereka. Yang pertama, laki-laki, memasuki perguruan tinggi. Yang kedua,
perempuan, di sekolah menengah atas waktu itu. Padahal penghasilan suami saya
pas-pasan saja. Adakah saya sebagai seorang istri yang kurang pandai bersyukur?
Wallahu’alam!”
“Dalam doa-doa yang saya panjatkan kepada Allah SWT disamping agar
digolongkannya kami sebagai orang-orang yang beriman, pandai bersyukur, juga
diantaranya memohon kesejahteraan keluarga kami. Sepuluh tahun lalu, selama
hampir dua puluh tahun sudah kami tinggal di rumah dinas. Karena
kesenioritasnnya suami saya kemudian dia menduduki jabatan sebagai salah satu
kepala bagian. Tapi itu bukan berarti menjadikan posisi kami secara finansial
semakin terdongkrak. Kami tetap biasa-biasa saja. Alhamdulillah suami saya bukan
tergolong orang yang gampang ‘tertular’ penyakit masa kini: korupsi dan
penyalahgunaan jabatan. Dalam hati ini ada rasa bangga. Bahwa ditengah-tengah
kesederhanaan keluarga kami, masih ada suatu yang amat berharga: menjaga
nilai-nilai moral yang diajarkan oleh Islam, untuk tidak hidup diatas
penderitaan orang lain.”
“Subhanallah! Disaat demikian, ternyata Allah SWT menjawab doa-doa saya.
Pertama, diberikannya kesempatan kepada suami saya untuk pergi haji atas beaya
dinas. Dan yang kedua suami saya diberikan ijin cuti diluar tanggungan negara,
untuk bisa bekerja di luar negeri. Adalah rahmat dan karunia yang amat besar.
Air mata ini tidak terasa mengalir ditengah-tengah ungkapan rasa syukur saya
kehadiratNya.”

“Mendiang ayah saya, keturunan Yaman, seorang Imam di mushollah kecil di desa
kami. Beliau tergolong keras dalam mendidik kami. Tidak seperti keluarga ayah
saya lainnya, paman dan tante, yang rata-rata pengusaha, keturunan Arab Yaman,
yang bahkan beberapa orang menetap di Saudi Arabia, sehari-hari kerja beliau
hanyalah menjahit. Sementara ibu tinggal di rumah, mengasuh kami anak-anaknya
yang delapan orang. Sekolah saya cuma sampai SD. Ketika saya menikah, suami saya
boleh dikata tidak memiliki apa-apa, kecuali masa depan pensiun. Sebagai seorang
anak perempuan yang harus patuh kepada orangtua, saya berprasangka baik terhadap
niat mulia pernikahan, walaupun mas kawin hanya Al Quran. Rejeki akan datang
sesudah pernikahan. Saya pikir permasalahannya hanyalah waktu.”
“Itulah kenangan 20 tahun silam sebelum kami menikah, sebelum kedua ibu-bapak
kami meninggalkan kami untuk selamanya.”
“Sebelum suami saya bekerja di Saudi Arabia, hubungan kami dengan seluruh
keluarga, baik dari pihak saya ataupun suami nampak biasa-biasa saja. Artinya
kami tidak pernah mengalami konflik. Tidak terlalu erat, namun juga tidak bisa
dikatakan jauh dari hubungan persaudaraan. Demikian pula dengan tetangga di
dalam rumah dinas kami, termasuk hubungan kami dengan rekan-rekan kantor suami
saya.”
“Tidak lebih dari satu tahun setelah kepergian suami ke luar negeri, ketika
keluarga kami mulai menampakkan perubahan secara materi, hubungan kami mulai
berubah, sekali lagi, sikap baik dari keluarga saya ataupun suami, juga
rekan-rekan kantor suami. Saya rasa bisa dimengerti mengapa ini terjadi tanpa
harus banyak saya ceriterakan disini. Saya sering terima tamu, pujian, dan
kadang-kadang ‘sindiran’.”
“Terus terang secara materi kami pada akhirnya berlimpah. Kedua anak kami segala
kebutuhannya jadi tercukupi. Kuliah tidak terganggu karena masalah beaya, sarana
transportasi ada, barang-barang kebutuhan rumah tangga, elektronik, hingga
kebutuhan sekunder lain pendeknya lengkap tanpa harus repot-repot, seperti
kebanyakan orang lain, mengkredit atau hutang di bank. Dalam waktu dekat bahkan
kami bisa membeli sepetak tanah kaplingan untuk mendirikan rumah yang ukurannya
cukup lumayan buat ukuran kami. Apalagi letaknya di pojokan jalan yang
strategis. Siapapun yang lewat akan bertanya “Rumah siapa ini?” Subhanallah,
betapa besar karunia yang Engkau limpahkan terhadap hambaMu ini! Engkau Mahakaya
ya Allah!”
“Seiring dengan rutinnya pengiriman uang dari suami saya, satu-demi-satu ujian
kepada saya mulai berdatangan. Pertama soal rumah dinas kami. Saya, seorang
istri, perempuan yang secara kodrati lemah, terkadang tidak kuat mendengar
sindiran teman-teman suami saya yang mengatakan bahwa posisi kami dienakkan.
Sudah tidak kerja di kantor, tetapi menempati rumah dinas besar yang gratis.
Saya sempat kalut karena tidak bisa berbuat banyak. Saya tidak bisa mengambil
keputusan untuk pindah rumah, kontrak di tempat lain tanpa kehadiran suami.
Belum lagi ‘suara-suara’ tetangga yang pada hemat saya ‘iri’. Padahal,
subhanallah, saya tidak pernah memamerkan kekayaan suami. kalau barang-barang
kebutuah rumah tangga itu kami beli, karena memang tuntutan dan banyak orang
yang mampu memilikinya. Vespa, sepeda motor, TV, kamera, bawaan suami juga bukan
barang mewah kan? Dari jauh suami yang sering telepon hanya bisa menghibur untuk
‘tenang’, karena status kami di rumah dinas adalah legal. Tetapi suami saya
tidak tahu apa yang terjadi sehari-hari. Padahal saya disaat yang sama juga
harus memikirkan rumah kami yang sudah mulai dibangun. “Saya harus kuat
menghadapi semua ini!” Saya coba menghibur diri. Tetapi sampai kapan?”
“Sesudah tetangga, rekan-rekan suami serta masalah kantor yang bertubi
menghantam pikiran saya, kini giliran saudara-saudara. Saudara-saudara kami,
dari kedua belah pihak, mulai sering berdatangan, dan saya pada akhirnya tidak
bisa menghindar dari apa yang sesungguhnya saya benci, utang-piutang. Ada yang
hutang dengan janji akan mengembalikan dalam beberapa bulan yang ternyata tidak
bisa ditepati. Ada pula yang mengajak ikut serta saya dalam bisnisnya. Sekali
lagi, suami saya yang memang memberikan kepercayaan kepada untuk melakukan
segala sesuatu, saya tidak bisa menolak, apalagi datangnya dari saudara sendiri.
“Toh mereka tidak akan menipu!” demikian pemikiran polos ini muncul begitu saja.
Konflikpun kemudian menjadi bertumpuk, dan saya tidak kuasa mengatasinya
sendirian. Suami juga ikut ‘kacau’ pikirannya. Lewat berbagai pertimbangan,
akhirnya diputuskannya balik ke Indonesia.”
“Padahal kontrak kerja di Saudi Arabia belum selesai. Padahal rumah baru yang
sedang dibangun masih tujuh puluh persen. Padahal kuliah anak belum rampung.
Padahal aku juga ingin naik haji. Padahal kami masih punya hak untuk menempati
rumah dinas. Padahal usia suami masih jauh dari pensiun. Padahal cuti diluar
tanggungan negara masih dua tahun lagi....”
“Masih banyak ‘padahal-padahal’ lainnya yang mendasari alasan suami saya untuk
tidak segera pulang sesudah tiga tahun di luar negeri. “Barangkali sudah
suratan!” itulah jawaban sederhana saya menyikapi kenyataan yang ada.”
“Suami pulang! Kami bahagia dan juga haru. Bahagia karena saya tidak lagi
sendirian menghadapi segala dilema hidup ini. Kalau selama 3 tahun terakhir
suami hanya pulang disaat cuti tahunan, kini kami berkumpul kembali. Haru karena
sudah berbulan-bulan ternyata suami juga ikut stress memikirkan apa yang sedang
menimpa kami tanpa ada penyelesaiaan yang jelas. Dia tidak kuasa melihat saya
sendirian mengatasinya. Dua perasaan yang berlawanan arus ini mengguncang batin
saya.”
“Harapan sesudah balik ke Indonesia dapat segera kerja lagi dan memperoleh gaji
seperti semula ternyata meleset. Semula kami mengira, dengan sedikit tabungan
yang ada, dan gaji bulanan suami sebagai pegawai negeri akan cukup bisa dipakai
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sekolahnya anak-anak.
Nyatanya....suami saya harus pulang balik Jakarta-Malang berkali-kali untuk
mengurusi ketidakberesan administrasi yang ada, yang membuat status
kepegawaiaannya terkatung-katung. Suami saya tidak bisa bekerja lagi secara
otomatis seperti sediakala. Lebih dari setahun sudah berlalu, dan status
kepegawaiannya belum juga beres. Sementara dua orang anak kami sedang kuliah.
Kebutuhan sehari-hari harus pula kami penuhi. Dengan kondisi suami yang
demikian, tanpa kerja dan penghasilan, bagaimana kami bisa memenuhinya?”
“Akhirnya, jangankan untuk meneruskan pembangunan rumah dan melunasi beaya
kuliah dua anak kami, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari kami terpaksa, harus
menjual satu demi satu barang-barang hasil pembelian suami di luar negeri.
Barang-barang elektronik, kamera, sepeda motor, vespa, hingga investasi kami
yang paling berharga, rumah, sudah tidak lagi menjadi hak milik kami.”
“Subhanallah! Dalam kondisi yang demikian, siapa lagi yang mau mendekati kami?
Hanya orang-orang yang berhati tulus saja yang mau menengok keadaan kami.
Saudara-saudara yang tadinya setiap saat nongol di depan pintu rumah tanpa
diundang, kini menjauh. Sesudah mengetahui keadaan kami, mereka tidak ada lagi
beritanya. Ya...Allah.. inikah buah kepemilikan harta ini? Harta yang tidak
lebih hanya membuat sikap sebagian umatMu lupa, bahwa semuanya ini hanya
sementara, hanya titipan, hanya sekejap.....”
“Sesudah berjuang selama satu setengah tahun, Alhamdulillah suami saya
mendapatkan kembali hak-haknya, walaupun tanpa ‘rapelan’. Ia mulai bekerja lagi,
tanpa jabatan seperti yang diharapkan. Tidak masalah. Begitu batin saya.”
“Satu tahun lagi suami saya akan pensiun. Rasanya kami memang lebih baik begini
keadaannya. Tidak harus bergelimang harta. Pengalaman kami mencatat, meski tidak
semua orang kaya mengalaminya, harta ternyata membuat banyak kepalsuan hidup.
Cinta dan persaudaraan rusak karenanya. Itulah yang kami rasakan. Kami harus
meninggalkan rumah dinas yang kami tempati hampir tiga puluh tahun beberapa saat
lagi. Saya tidak tahu kami akan tinggal dimana nantinya, sementara dua anak kami
masih harus mencari kerja. Tapi satu yang saya pasti, Allah SWT lah Yang akan
membantu kami, karena cintaNya yang tanpa batas. Kemurnian cintaNya tidak
dibatasi oleh jumlah kekayaan yang dimiliki oleh hambaNya.”
Kedua bola mata perempuan setengah tua itu kembali berkaca-kaca saat saya
berpamitan. “Nanti akan saya sampaikan salam mu kepada Bapaknya!” katanya sambil
menggenggam jilbab putih, mengiringi langkah-langkah kaki saya menjauhi rumah
dinas yang mulai nampak keropos dinding-dindingnya. Seolah ikut mencoba
mengingat kejadian masa lalu penghuninya.

Cinta Palsu,

- Kata pujangga cinta letaknya di hati. Meskipun tersembunyi, namun getarannya tampak sekali. Ia mampu mempengaruhi pikiran sekaligus mengendalikan tindakan. Sungguh, Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta (Jalaluddin Rumi).

Namun hati-hati juga dengan cinta, karena cinta juga dapat membuat orang sehat menjadi sakit, orang gemuk menjadi kurus, orang normal menjadi gila, orang kaya menjadi miskin, raja menjadi budak, jika cintanya itu disambut oleh para pecinta palsu. Cinta yang tidak dilandasi kepada Allah. Itulah para pecinta dunia, harta dan wanita. Dia lupa akan cinta Allah, cinta yang begitu agung, cinta yang murni.

Cinta Allah cinta yang tak bertepi. Jikalau sudah mendapatkan cinta-Nya, dan manisnya bercinta dengan Allah, tak ada lagi keluhan, tak ada lagi tubuh lesu, tak ada tatapan kuyu. Yang ada adalah tatapan optimis menghadapi segala cobaan, dan rintangan dalam hidup ini. Tubuh yang kuat dalam beribadah dan melangkah menggapai cita-cita tertinggi yakni syahid di jalan-Nya.

Tak jarang orang mengaku mencintai Allah, dan sering orang mengatakan mencitai Rasulullah, tapi bagaimana mungkin semua itu diterima Allah tanpa ada bukti yang diberikan, sebagaimana seorang arjuna yang mengembara, menyebarangi lautan yang luas, dan mendaki puncak gunung yang tinggi demi mendapatkan cinta seorang wanita. Bagaimana mungkin menggapai cinta Allah, tapi dalam pikirannya selalu dibayang-bayangi oleh wanita/pria yang dicintai. Tak mungkin dalam satu hati dipenuhi oleh dua cinta. Salah satunya pasti menolak, kecuali cinta yang dilandasi oleh cinta pada-Nya.

Di saat Allah menguji cintanya, dengan memisahkanya dari apa yang membuat dia lalai dalam mengingat Allah, sering orang tak bisa menerimanya. Di saat Allah memisahkan seorang gadis dari calon suaminya, tak jarang gadis itu langsung lemah dan terbaring sakit. Di saat seorang suami yang istrinya dipanggil menghadap Ilahi, sang suami pun tak punya gairah dalam hidup. Di saat harta yang dimiliki hangus terbakar, banyak orang yang hijrah kerumah sakit jiwa, semua ini adalah bentuk ujian dari Allah, karena Allah ingin melihat seberapa dalam cinta hamba-Nya pada-Nya. Allah menginginkan bukti, namun sering orang pun tak berdaya membuktikannya, justru sering berguguran cintanya pada Allah, disaat Allah menarik secuil nikmat yang dicurahkan-Nya.

Itu semua adalah bentuk cinta palsu, dan cinta semu dari seorang makhluk terhadap Khaliknya. Padahal semuanya sudah diatur oleh Allah, rezki, maut, jodoh, dan langkah kita, itu semuanya sudah ada suratannya dari Allah, tinggal bagi kita mengupayakan untuk menjemputnya. Amat merugi manusia yang hanya dilelahkan oleh cinta dunia, mengejar cinta makhluk, memburu harta dengan segala cara, dan enggan menolong orang yang papah. Padahal nasib di akhirat nanti adalah ditentukan oleh dirinya ketika hidup didunia, Bersungguh-sungguh mencintai Allah, ataukah terlena oleh dunia yang fana ini. Jika cinta kepada selain Allah, melebihi cinta pada Allah, merupakan salah satu penyebab do’a tak terijabah.

Bagaimana mungkin Allah mengabulkan permintaan seorang hamba yang merintih menengadah kepada Allah di malam hari, namun ketika siang muncul, dia pun melakukan maksiat.

Bagaimana mungkin do’a seorang gadis ingin mendapatkan seorang laki-laki sholeh terkabulkan, sedang dirinya sendiri belum sholehah.

Bagaimana mungkin do’a seorang hamba yang mendambakan rumah tangga sakinah, sedang dirinya masih diliputi oleh keegoisan sebagai pemimpin rumah tangga..

Bagaimana mungkin seorang ibu mendambakan anak-anak yang sholeh, sementara dirinya disibukkan bekerja di luar rumah sehingga pendidikan anak terabaikan, dan kasih sayang tak dicurahkan.

Bagaimana mungkin keinginan akan bangsa yang bermartabat dapat terwujud, sedangkan diri pribadi belum bisa menjadi contoh teladan

Banyak orang mengaku cinta pada Allah dan Allah hendak menguji cintanya itu. Namun sering orang gagal membuktikan cintanya pada sang Khaliq, karena disebabkan secuil musibah yang ditimpakan padanya. Yakinlah wahai saudaraku kesenangan dan kesusahan adalah bentuk kasih sayang dan cinta Allah kepada hambanya yang beriman…

Dengan kesusahan, Allah hendak memberikan tarbiyah terhadap ruhiyah kita, agar kita sadar bahwa kita sebagai makhluk adalah bersifat lemah, kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas izin-Nya. Saat ini tinggal bagi kita membuktikan, dan berjuang keras untuk memperlihatkan cinta kita pada Allah, agar kita terhindar dari cinta palsu.

Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang betul-betul berkorban untuk Allah Untuk membuktikan cinta kita pada Allah, ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan yaitu:

1) Iman yang kuat

2) Ikhlas dalam beramal

3) Mempersiapkan kebaikan Internal dan eksternal. kebaikan internal yaitu berupaya keras untuk melaksanakan ibadah wajib dan sunah. Seperti qiyamulail, shaum sunnah, bacaan Al-qur’an dan haus akan ilmu. Sedangkan kebaikan eksternal adalah buah dari ibadah yang kita lakukan pada Allah, dengan keistiqamahan mengaplikasikannya dalam setiap langkah, dan tarikan nafas disepanjang hidup ini. Dengan demikian InsyaAllah kita akan menggapai cinta dan keridhaan-Nya.

Cinta dan Sejuta Pengampunan

Cinta dan Sejuta Pengampunan
- Kita adalah kumpulan waktu yang makin menipis dari hari ke hari. Perjalanan waktu yang kita tempuh pun makin menyusut. Karenanya jatah waktu kita makin sedikit. Inilah yang dinamakan kesempatan hidup dan berbuat. Kelak kita diberi kesempatan untuk menuai hasilnya.
Hidup di dunia–bagi manusia–bagaikan perjalanan. Bagi kita yang sudah menempuh jarak + 20-30 an tahun, tentu banyak menemukan berbagai pengalaman berharga. Namun yang pasti, setiap perjalanan memerlukan sarana. Perjalanan seseorang juga tak mungkin dilakukan tanpa istirahat dan bekal. Kita yang berjalan kaki, dalam menempuh sebuah tujuan pun memerlukan minum dan makan. Mobil yang kita tumpangi juga perlu diisi bahan bakar. Proses ini kita namakan: pembekalan.
Salah satu karunia Allah yang berharga adalah Ramadhan, bulan pembekalan. Bahwa setiap tahun kita diberi kesempatan untuk sejenak bersama diri kita, merenung, berpikir dan melakukan dialog batin. Proses ini juga dinamakan: pembekalan.
Apa yang terjadi dalam menempuh jarak perjalanan yang kita sendiri kurang tahu panjang pendeknya? Kita hanya tahu tujuan akhirnya saja. Bahkan kita pun tak mengetahui, kapan kita sampai di tempat tujuan tersebut. Peristiwa-peristiwa sepanjang perjalanan tersebut menjadi ghaib kecuali yang telah kita lewati. Semua terhijab.
Perjalanan berat ini perlu kesiapan mental yang kuat. Karena bisa jadi kita tersesat di tengah jalan atau melakukan kesalahan yang kadang mengakibatkan kendaraan jadi rusak. Kemana kita mencari perbaikan? Kemana kita mencari bengkel?
Hanya satu: Allah. Karena hanya Dia yang mencipta dan mengetahui secara detail tentang kita. Lalu, bagaimana kita berinteraksi dengan Allah secara efektif. Bukankah Allah membuka pintu rahmah dan maghfirah-Nya setiap saat?
Bulan Ramadhan merupakan peluang emas. Allah mengistimewakan bulan ini. Rahmah-Nya diluaskan, pengampunan-Nya dibentangkan. Barang siapa yang mengejarnya, serius memohon dengan segenap azam. Allah menjanjikan akan memenuhinya. Bukankah Allah yang menyuruh kita untuk berdoa? Bukankah Dia juga yang berjanji mengabulkannya? Bukankah Dia pula yang memberitahu kedekatan itu? Dekat tanpa jarak dan perantara. (QS. 2:186)
Bulan yang pintu perbaikan senantiasa dibuka. Dengan segala kelapangan Allah menerima siapa saja. Bagi pemburu kebaikan Allah mempersilakan. Bagi pelaku dosa Dia bersedia mengulurkan maghfirah-Nya. Lantas, syeitan manakah yang membisikkan keputusasaan itu. Bukankah syeitan pun terbelenggu di bulan ini. Itu hanya bisikan nafsu yang terbiasa dengan buaian hawa dan kelezatan fana. Atau keraguan yang sempat bersemi di hati yang sedang sakit. Bukankah hati seperti ini perlu siraman. Ke mana lagi hendak dicari, jika bukan sekarang; Ramadhan. Hanya satu yang tak diberi kesempatan, mereka yang berputus asa dari rahmat-Nya. Sungguh bodoh orang yang tak mau memanfaatkan ini… Bila Allah telah menyediakan bekal perjalanan sementara kita tak mau mengambilnya. Atau tak mampu karena keterlambatan dan keteledoran yang kita lakukan.
Jangan sampai kita termasuk orang yang disabdakan Nabi Saw. “Merugilah orang yang menjumpai Ramadhan, sedang dosanya belum diampuni”.
Jika kita beristighfar setiap hari seratus kali, selama bulan Ramadhan, akan terkumpul istighfar sebanyak 3000 kali pada bulan ini. Namun bila Allah memberi kesempatan berjumpa dengan lailatul qadar. Koleksi istighfar kita akan mencapai 3.000.000 selain 3000 yang telah kita hitung. Dengan sejumlah istighfar tersebut akankah dapat menebus kesalahan dn kekhilafan yang pernah kita lakukan? Enggan bersyukur. Maksiat mata yang mengkhianati kebesaran-Nya. Dosa lidah yang tajam melukai kelembutan cinta-Nya pada makhluk-Nya. Telinga yang mendengar pergunjingan kemungkaran. Kaki yang melakukan kezhaliman. Tangan yang menghalangi kebaikan. Belum segudang gerutu hati mengomentari keputusan dan takdir-Nya.
Allah tak perlu angka-angka di atas. Itu hanya refleksi keluasan cinta-Nya dalam memotivasi hamba-Nya untuk melawan keputusasaan. Bukankah kelipatan tersebut hanya Dia yang paham? Kita hanya diberitahu perkiraannya saja.
Ya Rahman genggamlah jiwa ini. Karena ia ada pada “jari-jari” kekuasaan-Mu. Tunjukkan kemana hati ini berlabuh, jika tidak ke pangkuan kasih sayang-Mu. Pahamkan jiwa dan hati ini agar tak mendustai kebeningannya. Jangan Kau pekatkan ia karena nafsu dan bisikan. Bisikan apapun, ya Halim. Karena hamba telah berkali-kali jatuh. Jangan bosan Engkau menuntun. Jangan enggan Engkau ulurkan lagi. Entah sampai kapan hamba menyesal, kemudian menyesal dan menyesal lagi. Satu-satunya hal yang tak hamba sesali adalah menjadi makhluk-Mu. Karena Engkau tiada pernah bosan mengasihi dan memberikan cinta. Karena Engkau selalu … ya hamba yakin selalu bersama hamba. Meski hamba telah berkali-kali melukai cinta-Mu dengan maksiat dan dosa.
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan sepenuh iman dan keikhlasan, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah ra.)

CINTA

Cinta dalam bahasa Arab disebut Al-Mahabbah yang berarti kasih sayang. Menurut Abdullah Nashih Ulwan cinta adalah perasaan jiwa dan gejolak hati yang mendorong seseorang mencintai kekasihnya dengan penuh gairah, lembut dan kasih sayang. Cinta adalah fitrah manusia yang murni, yang tak dapat terpisahkan dari kehidupannya.
Diantara tanda-tanda cinta ialah rasa kagum/simpatik, berharap, takut, rela dan selalu ingat kepada yang dicintai. Seorang yang beriman sejak memproklammirkan bahwa tiada ilah selain Allah dan beriltizam (komitmen) sepenuh dayanya, maka Allah harus menempati posisi tertinggi cintanya. Semua tanda-tanda cinta tersebut selayaknya diberikan kepada Allah. Berupa rasa kagum terhadap kebesaran, keagungan dan kekuasaan Allah, mengharapkan cinta Allah, rahmat, keridhaan dan keampunanNya (QS.39:53),rela dan menerima ketentuan Allah sepenuhnya, takut kepada Allh, yang mrnghasilkan sikap menjauhkan diri dari maksiat, serta selalu mengingat Allah (QS.2:152; 13:28; 63:9; 59:19). Firman Allah :
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yanag beriman amat sangat cintanya kepada Allah...” (QS.2:165)
Cinta muncul karena kesadaran telah menerima anugerah dan nikmat yang besar dari Allah, pemahaman betapa rasa kasih sayang Allah melingkupi detik-detik kehidupan kita, serta karena mengenal Allah (Ma’rifatullah). Sehingga seorang mukmin amat sangat cintanya kepada Allah dan memiliki hasrat yang besar untuk bertemu denganNya.
Refleksi cinta adalah tunduk patuh, menurut,taat akan perintah Allah dan menjauhkan diri dari segala laranganNya. Mahabbatullah (rasa cinta kepada Allah) tidak cukup dengan hanya menjadi seorang ‘abid (ahli ibadah), tetapi mewujud dalam upaya menegakkan kalimatNya/agamaNya.
Islam merupakan agama fitrah yang juga mengakui adanya fenomena cinta yang melekat sebagai fitrah manusia.Allah telah memberikan petunjuk kepada hamba-hambaNya tentang prioritas dalam cinta. Firman Allah :“Katakanlah :’Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah tidak memberi pettunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS.9:24) Prioritas cinta dapat diklasifikasikan atas prioritas tertinggi, menengah dan terendah. Berdasarkan ayat di atas,prioritas cinta yang tertinggi adalah cinta kepada Allah, Rasulullah dan berjihad di jalanNya. Hal ini merupakan konsekuensi dan merupakan keharusan dalam Islam. Tak diragukan lagi bahwa seorang mukmin yang telah merasakan kelezatan iman di dalam hatinya akan mencurahkan segalanya cintanya hanya kepada Allah. Karenaia telah meyakini bahwa Allah-lah yang Maha Sempurna, Maha Indah dan Maha Agung. Tak ada satupun selain Dia yang memiliki kesempurnaan sifat-sifat tersebut. Maka lahirlah kesadaran bahwa hanya ajaran Allah-lah yang harus diikuti karena Dia-lah yang Maha Tinggi. Dia juga terdotong untuk mempraktekkan ajaran-ajaran Allah dengan senang hati, penuh keyakinan dan keimanan. Ia telah yakin bahwa untuk membanguan kepribadian yang sempurna dan membina mentalitas manusia hanyalah dengan ajaran Allah yang Maha Suci dari kekurangan.
Rasa cinta seorang yang beriman kepada Allah akan mengambil bentuk awal berupa rasa cinta kepada Rasulullah SAW. Cinta kepada Rasulullah ( Mahabbaturrasul) ini berwujud sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taat) terhadap perintah rasul, berendah hati, mendahulukan, melindungi dan kasih sayang kepada beliau. Generasi terbaik ummat ini telah mencontohkan betapa Mahabaturrasul bukan hanya terbatas pada salam dan Shalawat, namun juga membentengi Rasulullah dari mara bahaya dalam banyak peperangan dan tampil dalam membela Islam.
Mahabbaturrasul muncul dari keikhlasan dan ketulusan syar’i, rasa cinta yang Allah tumbuhkan, yang tak dapat ditumbuhkan oleh manusia meski membelanjakan seluruh kekayaannya. Rasa cinta yang melebihi rasa cinta kepada bapak-bapak, anak-anak, saudara-sausara, istri-istri, kaum keluarga, harta, perniagaan, rumah-rumah yang disukai. Bahkan rasa cinta yang melebihi rasa cinta kepada diri sendiri.
Sabda Rasulullah saw : “Hendaklah kalian mencintai Allah karena Dia memelihara kalian dengan nikmat-nikmat-Nya. Dan cintailah aku demi cintamu kepada Allah. Dan cintailah ahli rumahku demi cintamu kepadaku.” (HR. At-Tirmidzi, Al-Hakim dari Ibnu Abbas). “Tidak beriman seseorang (dengan sempurna) diantara kalian kecuali aku lebih dicintai dari dirinya sendiri, orang tua dan seluruh manusia” (Al Hadits).
Itulah mahabbaturrasul yang mewarnai hati Abu Bakar Ash Shiddiq ra. Yang membuatnya mendahulukan, melindungi dan tak membangunkan Rasulullah yang tertidur di pangkuannya, walaupun harus menahan sakit kakinya karena tersengat kalajengking hingga mengucurkan darah (peristiwa Hijrah).
Kisah para Shahabat telah membuktikan ketinggian cinta merek kepada Allah, Rasulullah dan Jihad fi sabilillah. Seperti kisah Hazholah bin Amir ra. Yang terjun ke medan perang Uhud meniggalkan istri yang baru sehari sebelumnya dinikahi, dan akhirnya menemui kesyahidan. Ketika itu Rasulullah saw melihat dan berkata kepada para shahabat : “Sesungguhnya aku telah melihat para malaikat memandikan Hanzholah di tengah-tengah langit dan bumi dengan air hujan-dalam sebuah bejana dari perak.” (HR. Turmudzi dan Imam Ahmad).
Cinta dengan prioritas menengah adalah cinta kepada orang tua, anak, saudara, istri/suami dan kerabat. Cinta ini timbul dari perasaan sesorang, yang terikat hubungan dengan orang yang dicintainya dengan ikatan aqidah, keluarga, kekerabatan atau persahabatan. Syari’at Islam menilai perasaan cinta seperti ini sebagai cinta yang mulia dan agung. Ia termasuk cinta yang kedua setelah cinta kepada Allah, Rasulullah dan jihad di jalan Allah. Bagaimana cinta seseorang terhadap sesamanya tidak dianggap cinta yang luhur dan perasaan yang suci. Sedangkan semua hubungan sosial dan segala tata kehidupan dibina berdasarkan perasaan cinta dan kasih sayang semacam ini. Cinta ini merupakan hal yang perlu untuk mewujudkan kemashlahatan individu dan keluarga pada khususnya serta kemashlahatan bangsa dan kemanusiaan pada umumnya. Sabda Rasulullah SAW : “Tidaklah sempppurna iman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).“Semua makhluk adalah tanggung jawab Allah. Maka yang paling dicintai Allah adalah yang paling memperhatikan kehidupan keluarganya”. (HR. Thabrani dan Baihaqi).
Adapun cinta terendah ialah cinta yang lebih mengutamakan dan menomorsatukan cinta keluarga, kerabat, harta dan tempat tinggal dibandingkan terhadap Allah, Rasulullah dan jihad fisabilillah. Cinta jenis adalah yang paling hina, keji dan merusak rasa kemanusiaan. Termasuk pula dalam kategori cinta ini adalah kecintaan kepada sesuatu yang disembah selain Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS.2:165, cinta kepada musuh-musuh Allah, sebagaimana Allah peringatkan dalam QS. Al-Mumtahanah (60):1, cinta berdasarkan hawa nafsu sebagaimana cintanya Zulaikha istri Al Azis kepada Nabi Yusuf as.
Tak diragukan lagi bahwa jika para pemuda Islam, kapan dan di mana saja, lebih mengutamakan cintanya kepada Allah, Rasulullah dan Islam maka Allah akan memberikan kemenangan bagi mereka di muka bumi ini.

Hubungan Asmara di Tempat Kerja

Hubungan Asmara di Tempat Kerja

Hubungan asmara antara pekerja dengan koleganya maupun antara pekerja dengan atasan atau pun bawahan merupakan suatu fenomena yang biasa ditemui dalam dunia kerja. Hubungan asmara tersebut ada yang berakhir dengan perkawinan dan ada juga yang berakhir dengan kepahitan, saling membenci, penuh dengan dendam bahkan salah satu pihak lalu menuduh bahwa telah terjadi pelecehan seksual.

Fenomena diatas tentu saja sangat menarik untuk disimak lebih lanjut mengingat bahwa hubungan asmara merupakan suatu hal yang wajar dan amat manusiawi sebagai akibat dari interaksi antar individu. Permasalahannya adalah bahwa hubungan tersebut seringkali disertai dengan gejolak-gejolak psikologis yang akhirnya dapat mempengaruhi kinerja individu yang bersangkutan atau pun rekan kerja yang lain (team atau departemen). Selain itu tidak adanya peraturan tertulis yang secara jelas mengatur batasan-batasan yang harus dipatuhi oleh individu yang sedang di mabuk asmara tersebut, semakin membuatnya menjadi kompleks.
Pertanyaan yang harus dijawab kemudian adalah apa saja risiko yang mungkin timbul sebagai akibat menjalin hubungan asmara dengan rekan kerja. Lalu bagaimana HRD harus berperan untuk menyikapi hal-hal yang berhubungan dengan hubungan asmara tersebut. Dan pertanyaan terakhir adalah bagaimana individu yang sedang dimabuk asmara tersebut menyikapi hubungan yang terjadi sehingga tidak mempengaruhi kinerja mereka. Dalam artikel ini penulis akan mencoba untuk menguraikan hal-hal tersebut.

Alasan

Beberapa alasan mengapa bisa terjadi hubungan asmara di tempat kerja, menurut penulis dapat dibagi dalam beberapa alasan:

Kesiapan

Para pekerja di perusahaan atau organisasi pada umumnya adalah orang-orang yang secara fisiologis dan psikologis merupakan individu yang sudah siap untuk menjalin hubungan asmara, bahkan berumahtangga. Selain itu mereka pada umumnya memiliki kesiapan finansial yang relatif lebih baik dari masa sebelumnya (cth: memiliki penghasilan dan fasilitas). Dengan kondisi-kondisi tersebut maka sangatlah wajar jika individu mulai tertarik satu sama lain dan mencari pasangan hidupnya masing-masing.

Waktu

Di Indonesia waktu efektif yang dihabiskan untuk bekerja dalam seminggu adalah antara 40 jam s/d 48 jam. Dengan kondisi yang serba padat dan macet di kota-kota besar seperti di Jakarta maka waktu yang tersisa untuk aktivitas di rumah menjadi semakin sedikit karena jarak tempuh antara rumah dan kantor terkadang bisa menghabiskan waktu satu sampai dua jam per hari. Selain itu kondisi tersebut berpotensi untuk membuat para pekerja memutuskan untuk tinggal lebih lama di kantor karenna menunggu arus lalu lintas menjadi lebih lancar. Hal ini semakin menambah banyaknya waktu yang dihabiskan di kantor. Dengan tersedianya banyak waktu yang dihabiskan di kantor/aktivitas kerja maka tidaklah mengherankan jika selama bekerja terjalin hubungan asmara antar individu.

Kebersamaan

Perusahaan merupakan suatu sistem yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Pekerjaan atau tugas-tugas kantor pun mengikuti sistem tersebut sehingga banyak tugas yang harus dikerjakan secara bersama-sama (teamwork). Dalam kebersamaan ini individu dapat saling bertukar informasi, belajar satu dengan yang lain dan tidak jarang mereka membagi pengalaman-pengalaman pribadi. Situasi inilah yang kadang-kadang memunculkan benih-benih cinta diantara para pekerja.

Minat

Kesamaan minat akan suatu pekerjaan atau profesi sangat berpeluang untuk menumbuhkan benih-benih cinta antara individu. Secara psikologis ketika kita bertemu dengan orang yang memiliki minat yang sama atau seprofesi maka secara tidak langsung kita akan merasa lebih dekat dan mudah untuk bertukar pikiran atau ngobrol. Kejadiannya sama seperti ketika seseorang yang tinggal di perantauan bertemu dengan seseorang yang berasal dari daerah/kota yang sama dengan dirinya. Inilah salah satu sebab mengapa individu yang menjalin hubungan seringkali berasal dari bidang atau divisi yang sama, meski tidak berada dalam satu kantor/ruangan.

Risiko

Sama seperti setiap orang yang sedang jatuh cinta, maka menjalin asmara dengan teman sekantor juga membawa berbagai kebahagiaan bagi pasangan yang sedang jatuh cinta tersebut. Individu yang sedang dimabuk cinta mungkin tidak sabar untuk segera tiba kantor karena akan bertemu dengan pujaan hatinya, ia juga tidak keberatan untuk bekerja lembur (asal ditemani oleh pacarnya). Energinya menjadi berlipat ganda (terutama pada awal masa pacaran) sehingga seringkali terlihat bekerja dengan penuh semangat, bahkan mungkin belum pernah seenergik itu sebelumnya.
Namun demikian kebahagiaan tersebut diatas tidak akan berlangsung lama jika pasangan yang dilanda cinta tersebut tidak berhati-hati dan memperhitungkan dengan seksama risiko-risiko yang akan dihadapi di kemudian hari. Risiko-risiko tersebut diantaranya:

Terlena

Pada umumnya individu yang sedang jatuh cinta seringkali terbuai dan lupa dengan realitas yang ada. Hal ini cenderung membuat kesadaran diri individu tersebut untuk hal-hal tertentu diluar percintaan menjadi berkurang karena terfokus pada sang pujaan hati. Pada masa-masa ini nasehat rekan kerja yang sangat penting mungkin akan kurang didengar dibandingkan dengan saran yang diberikan oleh sang pacar. Jika kedua individu tidak menyadari realitas yang ada (ada banyak pekerjaan menunggu atau ada teman-teman yang mengharapkan bantuan kerjasama, dll) maka bisa jadi hubungan asmara yang terjadi malah berubah menjadi bencana karena akan menghambat perkembangan karir masing-masing.

Konflik Kepentingan

Hubungan asmara yang terjadi antara atasan dan bawahan akan sangat berpotensi menimbulkan berbagai konflik kepentingan. Jika kedua pihak tidak menyadari dengan sungguh-sungguh maka akan sangat sulit untuk melakukan penilaian yang obyektif pada hal-hal yang berhubungan dengan penilaian kinerja atau pun menyangkut pendisiplinan. Bukankah akan sangat sulit untuk meninggalkan unsur subyektivitas ketika anda (atasan) diminta untuk menilai seseorang (bawahan) yang kebetulan adalah pacar atau pujaan hati anda sendiri? Selain itu sebagai atasan, bisa saja anda "dimanfaatkan" oleh pacar anda tersebut untuk mencapai kepentingan-kepentingan pribadi tanpa anda sadari.

Energi

Hubungan asmara, dimanapun lokasinya, tidak akan mungkin dapat ditutup-tutupi. Cepat atau lambat semua orang di sekitar anda pasti akan tahu siapa kekasih anda. Dalam hal menjalin hubungan asmara di kantor maka individu harus menyiapkan energi ekstra untuk menghadapi berbagai komentar, kecemburuan atau pun kecurigaan yang mungkin dilakukan oleh rekan kerja. Komentar yang harus disikapi secara profesional dan elegan misalnya: "tentu saja karirnya cepat menanjak, lihat dong siapa pacarnya!" (maksudnya karir seseorang lebih mudah menanjak ketika berpacaran dengan seseorang yang memiliki jabatan strategis dalam perusahaan). Atau mungkin juga ada komentar yang mengatakan sebagai berikut: "heran ya, kok dia mau pacaran dengan orang seperti itu?" Tentu saja untuk menghadapi komentar atau kecurigaan seperti ini dibutuhkan kesabaran, kerendahan hati dan kemampuan untuk menahan amarah. Bukankah semua ini membutuhkan energi ekstra?

Bukan Hanya Urusan Dua Orang

Mereka yang menjalin hubungan asmara di kantor mungkin berpendapat bahwa hubungan tersebut hanyalah urusan pribadi kedua belah pihak. Namun apakah benar demikian? Kenyataannya hubungan asmara tersebut menimbulkan dampak yang luas ke rekan-rekan kerja yang lain. Secara sadar maupun tidak, hubungan asmara tersebut akan mewarnai berbagai penilaian, pengambilan keputusan dan hubungan kerja antara pasangan yang berpacaran dengan teamwork atau rekan kerja lainnya. Rekan-rekan kerja yang lain mungkin akan cenderung mengambil jarak atau membatasi topik pembicaraan dengan anda dan pasangan, ketika mereka melihat anda sedang duduk berduaan di kantin, ruang meeting, acara-acara company gathering, atau tempat-tempat lainnya karena ingin memberikan privacy kepada anda berdua. Keputusan-keputusan yang menyangkut promosi, tugas dan tanggungjawab, team building dan pelaksanaan suatu proyek yang melibatkan anda seringkali diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut hubungan asmara anda. Alangkah sayangnya jika anda tidak mendapat promosi hanya gara-gara orang lain menilai bahwa anda terlalu mementingkan hubungan asmara daripada pekerjaan.

Pelecehan Seksual

Hubungan asmara yang terjadi di kantor, terutama antara atasan dan bawahan, seringkali berakhir dengan kepahitan. Dalam banyak kasus, individu yang telah berakhir hubungan asmaranya cenderung menjelek-jelekkan satu sama lain atau saling membenci. Tidak jarang akhirnya justru muncul tuduhan bahwa salah satu pihak telah melakukan pelecehan seksual. Inilah risiko berat yang mungkin harus diwaspadai para atasan yang kebetulan menjalin hubungan dengan anak buahnya, mengingat bahwa masalah pelecehan seksual merupakan salah satu topik yang seringkali membuat kejatuhan karir seseorang.

Peran HRD

Masalah hubungan asmara dengan rekan kerja di kantor bisa menjadi problematik manakala hubungan tersebut sudah mengganggu kinerja pegawai yang bersangkutan atau pun rekan-rekan lainnya sehingga produktivitas perusahaan ikut terganggu. Dalam hal ini, meskipun HRD sebenarnya tidak boleh mencampuri urusan pribadi pegawai, namun jika masalah pribadi tersebut ternyata telah mengganggu produktivitas perusahaan maka HRD wajib melakukan tindakan berupa teguran, bimbingan bahkan peringatan tertulis. Permasalahannya adalah banyak perusahaan (mungkin 99%) tidak memiliki batasan yang jelas tentang hal-hal apa saja yang harus dipatuhi oleh individu yang menjalin hubungan asmara dengan teman kerja di kantor. Hal ini tentu berbeda jika pasangan tersebut sudah sepakat untuk menikah (biasanya sudah ada aturan yang jelas apakah perusahaan membolehkan pegawai yang memiliki hubungan keluarga dapat bekerja di satu perusahaan atau tidak). Dalam hal ini maka individu yang akan menikah sudah tahu risikonya (cth: salah satu pihak harus mengundurkan diri). Dengan memperhatikan hal-hal seperti ini, ada baiknya jika pihak HRD mampu menyusun seperangkat aturan tertulis yang mengatur tentang batasan-batasan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan untuk dilakukan jika perusahaan mengijinkan pegawainya menjalin hubungan dengan rekan kerja di dalam satu perusahaan. Hal ini dipandang perlu mengingat bahwa sampai kapanpun pasti akan selalu ada hubungan asmara di antara para pekerja (sesama rekan kerja maupun antara atasan dan bawahan).

Mengingat bahwa hubungan asmara yang terjadi di kantor tidak mungkin dapat terhindarkan, maka hal-hal yang harus menjadi perhatian khusus dari pihak HRD adalah menyangkut hal-hal sebagai berikut:

Perselingkuhan

Perselingkuhan mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dan tanpa disadari seringkali perselingkuhan tersebut justru terjadi di tempat kerja. Oleh karena itu HRD harus jeli dalam menanggapi permasalahan tersebut. Penanganan masalah ini mungkin akan lebih banyak menggunakan pendekatan pribadi daripada profesional, apalagi jika budaya dalam perusahaan tersebut cenderung "memberikan toleransi" terhadap perselingkuhan. Dalam perusahaan-perusahaan tertentu memang ada yang melakukan tindakan tegas dengan langsung meminta individu yang melakukan perselingkuhan dengan rekan kerja untuk menghentikan kegiatan tersebut dan jika tidak maka akan dilakukan tindakan tegas berupa PHK. Hal tersebut tentu sangat baik untuk menjaga keutuhan rumah tangga para pekerja. Namun sayang jumlah perusahaan yang melakukan hal tersebut masih sedikit dan para "peselingkuh" pun semakin pintar menutupi aksi mereka.

Tempat

Hubungan asmara antar rekan kerja akan berpotensi menimbulkan masalah jika dilakukan secara berlebihan, misalnya memeluk atau mencium pasangan di depan rekan-rekan kerja yang lain (untuk budaya Indonesia) atau berkencan di ruang rapat, kantin, dll. Kejadian tersebut selain tidak membuat nyaman rekan-rekan kerja yang lain, juga menyalahi fungsi tempat kerja tersebut. Hal-hal yang harus menjadi perhatian HRD dalam hal ini adalah menjaga agar fasilitas yang ada di kantor tidak dimanfaatkan untuk berkencan dan perilaku yang dinilai berlebihan tidak terjadi di tempat kerja. Tempat-tempat tersebut misalnya: ruang meeting, ruang kerja direktur/manager, ruang fotocopy, kantin dan lift atau elevator. Tempat-tempat ini harus diusahakan bersih dari kegiatan pacaran. Informasikan hal ini kepada semua pegawai dan disertai sanksi bagi yang melanggar.

Hubungan Asmara Atasan - Bawahan

Kejelasan aturan main yang harus dilakukan jika ternyata ada atasan yang menjalin hubungan asmara dengan bawahan mungkin sangat perlu dipikirkan oleh HRD. Hal ini adalah demi menjaga kinerja kedua belah pihak dan menghindarkan mereka dari risiko-risiko yang tidak diinginkan seperti telah disebutkan di atas.

Beberapa Saran

Melarang individu untuk menjalin hubungan asmara dengan teman di kantor mungkin merupakan suatu hal yang mustahil dan tidak akan banyak manfaatnya. Bagaimana pun juga hal tersebut merupakan hak setiap orang dan salah satu dari tugas perkembangan yang harus dijalani oleh individu. Satu hal yang harus diperhatikan adalah jangan sampai hubungan asmara tersebut merusak karir dan hubungan orang tersebut bagi orang lain.
Beberapa hal berikut mungkin patut anda pertimbangan jika anda tetap ingin menjalin hubungan asmara dengan rekan kerja:

Pastikan bahwa Anda Mampu Menerima Berbagai Konsekuensi

Risiko orang berpacaran adalah ada masa indah dan ada masa yang sangat menyakitkan. Pada masa-masa bahagia mungkin tidak ada persoalan bagi anda untuk menghadapinya, namun jika muncul masa-masa sulit maka pastikan anda sudah siap untuk menghadapinya. Jika seandainya hubungan berakhir maka pastikan bahwa anda masih bisa bersikap profesional bilamana bertemu atau bekerjasama kembali dengan mantan kekasih anda tersebut.

Cerdik

Sebelum memutuskan untuk menjalin hubungan asmara maka pastikan bhawa pasangan anda merupakan orang yang dapat anda percayai. Artinya jangan sampai anda berkencan dengan seseorang yang ternyata akan dengan gampang menceritakan hal-hal yang menjadi rahasia anda (pribadi maupun bisnis) kepada orang lain. Pilihlah pasangan dengan cerdik dan cermat

Hati-hati

Meski perusahaan tidak melarang anda untuk menjalin hubungan dengan rekan kerja, namun hendaknya hal tersebut dilakukan dengan hati-hati dan penuh tenggangrasa terhadap rekan-rekan kerja yang lain. Artinya untuk mengungkapkan rasa sayang dan cinta anda hendaknya tidak dilakukan secara berlebihan atau dilakukan di depan rekan-rekan kerja lainnya. Anda dan pasangan harus bisa menjaga perasaan rekan kerja yang lain dan tidak menggunakan waktu-waktu kerja untuk berpacaran. Selain itu hindari penggunaan tempat-tempat maupun fasilitas kantor.

Usahakan tidak Berpacaran Dengan Bawahan Anda

Demi menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan atau hal-hal negatif seperti tuduhan pelecehan seksual, maka bagi anda yang kebetulan memegang jabatan tertentu maka sebaiknya anda tidak menjalin asmara dengan bawahan anda di kantor.

Lihat Dunia Lain

Merupakan suatu hal yang amat berguna bagi anda jika anda dapat membatasi diri untuk tidak menghabiskan sebagian besar waktu anda dengan pasangan anda. Jika hal ini tidak dapat anda lakukan, maka itu sama artinya dengan menutup diri terhadap hal-hal baru. Selain itu anda akan kehilangan banyak teman dan "network" sehingga jika suatu saat anda ternyata putus hubungan dengan pacar anda, maka anda akan kebingungan mencari teman baru. Padahal di satu sisi kita amat membutuhkan teman dalam bekerja (untuk mensupport maupun bertukar pikiran). Oleh karena itu, selama masa pacaran sangat penting bagi anda berdua untuk tidak menerapkan prinsip: "DUNIA MILIK KITA BERDUA DAN YANG LAIN CUMA NGONTRAK

Buah Cinta

1. KELAPANGAN DADA
Rasa cinta mempunyai pengaruh yang sungguh menakjubkan dalam melapangkan dada dan menenangkan jiwa, sesuatu yang hanya dipahami oleh mereka yang memang pernah mengalaminya. Semakin kuat rasa cinta, semakin lapang dada dan jiwanya. Hati dan jiwa mereka akan sempit bila melihat maksiat.
Allah berfirmn:
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk ditujuki-Nya, niscaya Dia melapangkan dadanya (untuk memeluk) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit” (al-An’am [6]: 125).

Lantas nikmat apa lagi yang lebih baik dari hati yang lapang, dan azab apa lagi yang lebih berat dari dada yang sempit?
Seorang pencinta Allah adalah manusia yang paling tenang, paling riang dan paling lapang hidupnya. Ia mendapatkan sorga dunia sebelumsorga di akhirat.

2. HILANGNYA RASA GELISAH

Rasa cinta adalah penghapusan rasa cemas, karena hati pencinta hadir di hadapan kekasihnya. Gelisah muncul saat hati itu jauh dan tak hadir bersama Yang Dicintainya. Lantas bila hati itu selalu hadir dan terpagut bersama kekasihnya, adakah muncul rasa gelisah? Orang yang gelisah selalu berjuang agar jiwa danhatinya bisa hadir bersama Kekasihnya, sedang hati sang pencinta tidak lepas dari Kekasihnya sehingga ia selalu berupaya untuk hadir bersama-Nya. Karena itu, gelisah dan cinta tak pernah bertemu selamanya.

Hati seorang pencinta tidak diganggu dengan kegelisahan apa pun, karena ia telah dipenuhi oleh rasa cinta. ia juga tidak dirisaukan dengan angan apa pun, karena ia terlalu sibuk dengan cintanya.

Selain itu, kegelisahan dan angan-angan berasal dari kebutuhan dan ketergantungan tertentu. Pada saat yang sama, seorang hamba pencinta telah mendapatkan semua anugerah dan karunia yang mencukupi kebutuhannya. Maka kegelisahan dan angan-angan pun tak ada lagi di hatinya. Yang tersisa adalah rasa syukur dan terima kasih pada Allah atas segalanya.

3. MEMUJI KEKASIH-NYA

Selain memuji Yang Dicintaintainya, cinta juga membuahkan rasa senang dan sykur kepada-Nya, khauf dan raja’ kepada-Nya. Merasa nikmat dengan mengingat dan menyebut-Nya, tenang dan betah bersama-Nya, dan risau jika ingat pada selain-Nya.

4. MERAIH CINTA DAN KERIDHAAN ALLAH, SERTA BETAH DENGAN MENDEKATKAN DIRI KEPADANYA

Inilah buah cinta yang paling besar, dan betapa besarnya nikmat pencinta ini, saat bertemu Kekasih setelah lama menanggung rindu, lalu memandang langsung tanpa terhalang apa pun.

Diriwayatkan diri Suhaib ar-Rumi; ia bertutur bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Ketika penghuni sorga sudah masuk, Allah bertanya, ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu? (Bila ingin) pasti akan kuberi lebih.’ Mereka menjawab: ‘Bukankah Engkau telah mencerahkan wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam sorga dan menyelamatkan kami dari neraka?’ setelah itu, hijab penutup wajah Allah disingkap. Maka tidak ada suatu anugerah apa pun yang lebih mereka cintai selain memandang wajah Allah Azza wa Jalla. Lalu Rasulullah membaca ayat: “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada balasan yang terbaik (sorga) dan tambahannya” (Yunus [10]: 26).

Terkait dengan hal ini Ibnu Qayyim menulis:

“Nabi menjelaskan, bahwa dengan kesempurnaan nikmat sorga yang mereka terima, mana nikmat yang paling mereka cintai adalah memandang Allah. Karena kenikmatan itu melebihi nikmat makanan, minuman, bidadari, dan nikmat sorga lainnya.”

Tak diragukan lagi bahwa nikmat ini terlalu besar dan tak terbayang sebelumnya. Ditambah lagi kebersamaan dengan Allah, karena seseorang akan bersama dengan yang dicintainya. Nikmat sorgawi ini dicari oleh kaum ‘arifin, sementara mereka masih menjejakkan kakinya di bumi kehidupan ini.

Inilah macam-macam buah yang bisa dipetik dari cinta. dari beragam buah ini, barangkali kita hanya mendapatkan setitik air saja, barangkali kita hanya mendapatkan setitik air saja di tengah lautan luas, jika hari kita cacat, ilmu kita terbebas dan amal kita memerlukan tobat dan istighfar.

Namun jika hati kita bersih, jiwa kita suci, dan amal kita memadai, tentu kita akan bisa menangkap banyak firman Allah dan menyelami berbagai macam rahasianya yang terabaikan oleh ilmu dan pengetahuan manusia. Dengan ini pulalah kita bisa memahami tingkat pengetahuanpara sahabat, dan betapa jauh tingkat pengetahuan kita dibandingkan mereka. Allah sungguh Mahatahu, di mana Dia menjadikan kelebihan bagi hamba pilihan-Nya.”

“Bila dihatimu tidak ada kelezatan yang biasa kamu dapatkan dari amal yang kamu lakukan, maka curigailah hatimu. Karena Allah Maha Pemberi balasan.”