Sabtu, 12 September 2009

Cinta Versus Nafsu

Maafkanlah, karena itu lebih mulia” Itulah salah satu pesan Rasulullah yang sangat terkenal. Membalas perlakuan tak adil dan kezhaliman dari seseorang, tidak dilarang. Namun tentu ada alasan yang sangat khusus mengapa Rasul menganjurkan ummatnya untuk memberikan maaf kepada orang zhalim.
Mari kita lihat ulang soal maaf memaafkan ini. Perintah Allah berkenaan dengan “maaf” ini termaktub dalam Qur’an Surat Ali Imran ayat 134: “... dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang”. Menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain, merupakan dua dari ciri orang yang bertaqwa. Nampaknya seperti sesuatu hal yang sangat sepele, dan tak sedikit orang yang menganggap itu sebagai hal biasa yang teramat mudah. Padahal, sungguh teramat berat untuk bisa melakukannya, jika bukan karena seseorang itu telah memiliki kebersihan hati dan ketulusan cinta kepada Allah Swt.
Ada satu hadits yang termasuk dhaif, namun dalam hal ini bisa diambil hikmahnya. Usai perang Badr yang terkenal sebagai salah satu perang terbesar dalam sejarah Islam, seorang sahabat mengatakan, “Kita baru saja melakukan peperangan terbesar” Kemudian Rasulullah berkata: “Tidak, perang terbesar adalah perang melawan hawa nafsu”. Meski terbilang hadits dhaif, tak ada salahnya jika kita sepintas “sepakat” bahwa mengendalikan hawa nafsu tidaklah ringan. Kalaulah kita mau membuka catatan sejarah perjalanan hidup manusia, betapa hawa nafsu sudah terlalu sering mengalahkan manusia, bahkan sejak manusia pertama diciptakan.
Adam alaihi salam yang telah diberikan limpahan nikmat oleh Allah berupa kesenangan dan kebahagiaan hidup di surga yang tak berkekurangan. Masih ditambah nikmat itu dengan dihadirkannya Hawwa sebagai pelengkap hidup yang membawa kedamaian dan ketentraman. Cukupkah Adam? Ternyata tidak. Syetan menggelincirkan dua manusia itu hanya dengan rayuan buah keabadian yang dihembuskan syetan. Adam (juga Hawwa) tak mampu membendung nafsunya untuk tidak menyentuh buah “terlarang” tersebut. Berlanjut kepada keturunan Adam, Qabil tega membunuh saudara kandungnya sendiri Habil demi mendapatkan calon istri Habil yang lebih cantik.
Sejarah juga mencatat nama-nama lain dari zaman ke zaman, Fir’aun dan sederet nama haus kekuasaan di muka bumi ini akan selalu menjadi catatan hitam keserakahan manusia. Begitu juga dengan Qarun dan sejumlah nama orang-orang yang rakus harta. Seiring bergulirnya masa, nafsu manusia pun terus berkembang dan semakin tak terkendalikan. Sedikit punya kuasa, ingin punya harta dan kemudian wanita. Terus dan terus meningkat, ingin meningkatkan kekuasaannya, melebihkan hartanya dan memperbanyak wanitanya. Tidak berhenti sampai disitu, kenikmatan dunia yang telah memalingkannya dari Allah membuatnya cinta akan dirinya, cinta akan dunianya. Dan itu akan melambungkan dirinya kepada kesombongan, dan mengagungkan harga diri yang diukur dengan parameter kekuasaan, kekayaan, kecantikan, ketampanan dan ukuran materi lainnya.
Hingga saat ini, takkan pernah terhitung jumlah orang-orang yang pernah terjerumus dan akhirnya jatuh oleh karena memperturutkan nafsunya. Namun demikian, jangan lupa bahwa sejarah pun mencatat dengan tinta emas orang-orang yang menang melawan hawa nafsunya. Orang tentu tak akan lupa dengan nama Yusuf alaihi salam yang menampik rayuan Zulaikha yang cantik jelita, Ali bin Abi Thalib yang urung menebas leher musuhnya setelah sang musuh meludahi wajahnya. Alasannya, ia tak ingin amarah dan nafsunya yang menjadi alasan utama saat ia menghujamkan pedangnya. Siapa yang tak ingat betapa besar kecintaan Abu Bakar kepada Allah dan rasul-Nya sehingga menginfakkan semua harta miliknya hingga tak tersisa untuk perjuangan Islam.
Manusia bisa menjadi sangat mulia karena menahan dan mengendalikan nafsunya. Sebaliknya, manusia mulia pun akan teramat hina dan menjijikkan ketika sedetik saja tak kuasa mengendalikan nafsu. Sebagai contoh, amarah, yang merupakan satu bagian kecil dari semua hawa nafsu yang ada pada diri manusia, akan sangat berpotensi membuat seseorang menjadi sangat hina. Orang yang tak dapat mengendalikan amarahnya, akan terlihat seperti orang bodoh, bahkan gila. Dan ujungnya, bisa dipastikan adalah penyesalan.
Pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan sejumlah peristiwa lain yang terjadi di muka bumi ini, sumber utamanya adalah nafsu yang tak terkendali. Oleh karenanya, jangan pernah menyepelekan pentingnya menata hati, membersihkan jiwa dan mengendalikan diri. Karena bukan tak mungkin, pada saat lengah, orang baik dan mulia pun bisa tersungkur oleh sebab nafsu yang tak terkendali itu.
Soal memaafkan misalnya, kenapa hanya dengan memaafkan manusia menjadi lebih mulia? Jawabannya tentu sudah menjadi jelas sekarang. Ketika seseorang memperturutkan nafsunya dan tak mempu menahan amarahnya, saat itulah pintu terbuka bagi masuknya syetan ke dalam hati manusia untuk terus memanasi setiap relung di dalamnya. Hingga pada hitungan detik berikutnya, saat api amarah menyala, tak pelak lagi balasan terhadap perlakuan orang lain yang dilakukan biasanya jauh lebih besar, dan lebih menyakitkan. Disinilah syetan berperan menciptakan ketidakadilan, dan kemudia ia juga yang menghembuskan aroma ketidakadilan tersebut kepada lawannya untuk membalas kembali ketidakadilan itu dan seterusnya. Pada akhirnya, syetan akan tertawa melihat dua anak, dua kelompok manusia saling baku hantam.
Padahal, kalau saja ia mau memaafkan kesalahan (atau kezhaliman) orang lain, sikap itu tentu tidak akan menjatuhkan derajatnya dimata orang yang menzhaliminya. Seperti halnya Rasulullah yang kerap memaafkan orang yang meludahinya setiap hari, derajatnya tak pernah jatuh sekalipun ia justru menjadi orang yang pertama menjenguk ketika si peludah itu menderita sakit.
Itu baru sekedar masalah maaf memaafkan, bukankah jauh lebih mulia orang-orang yang tak serakah harta, mereka yang tak ambisi kekuasaan dan jabatan, juga pria-pria dan wanita yang tak memperturutkan syahwatnya pada jalan yang halal? Adakah yang lebih mulia dari orang-orang yang mampu menahan dan mengendalikan nafsunya karena takut kepada Allah?
Hawa nafsu, dari yang kecil seperti bangga diri, tak mampu menahan amarah serta tak mau memaafkan kesalahan orang, sampai yang besar seperti rakus harta, kekuasaan dan juga nafsu syahwat. Semuanya adalah karena kelengahan kita yang membiarkan pintu-pintu hati ini terbuka bagi masuknya syetan yang memang senantiasa menantinya celah kelengahan manusia.
Cinta yang tulus kepada Allah akan membuahkan cinta dan kasih sayang yang juga tulus dari Allah kepada hamba-Nya. Dan dengan cinta dan kasih sayang yang Allah tanamkan itulah, manusia mencintai, mengasihi juga menyayangi sesama makhluk. Jika yang demikian yang dimiliki oleh manusia selaku hamba Allah, tidak akan pernah cinta berubah menjadi amarah, tak akan pernah kasih dan sayang tertandingi oleh ganasnya hawa nafsu. Orang yang marah hanya karena kekhilafan manusiawi orang lain, berarti ia hanya mencintai dirinya sendiri. Salah satu parameter orang yang mencintai dirinya sendiri adalah, terluka, terhina, atau menaruh dendam terhadap orang yang menyakitinya, menzhaliminya, atau mengkhianatinya. Hamba yang dipenuhi hatinya dengan kasih tulus dari dan karena Allah, tidak akan ada ruang kosong dalam hatinya untuk rasa benci, amarah, apalagi dendam. Jika untuk hal kecil saja tak ada ruang, apatah lagi untuk nafsu-nafsu besar lainnya.
Seandainya David J Schwartz adalah seorang muslim, tentunya dia akan menjadikan Rasulullah dan sederet nama-nama yang memenangkan hawa nafsunya sebagai refrens dalam bukunya yang amat terkenal, “Berpikir dan berjiwa besar”.
Selain terus menanamkan cinta tulus kepada Allah, sejatinya kita senantiasa menjaga agar hati ini terus terlindungi agar tak kotor, agar tak terbuka celah masuknya syetan yang menggerogoti benteng-benteng ketegaran di dalamnya. Menentramkan hati dengan dzikir (mengingat Allah) sebagai bukti cinta seseorang terhadap Dzat yang dicintainya, adalah terapi yang tak terbantahkan setiap orang yang mendambakan ketenangan hidup. Selain dzikir, qona’ah dan ikhlas dalam menjalani hidup semestinya juga menjadi modal utama ditengah ganasnya terpaan nafsu yang terus dipanas-panasi oleh syetan.
Setelah itu, tak ada lagi yang menjadi kepuasan dari seorang hamba di dalam hidupnya ketika kelak mengakhiri hidup tetap dalam kemuliaan. Sehingga meski tak sedikitpun terbetik niat mengukir nama dalam sejarah manusia yang memenangkan pertarungan melawan hawa nafsu, siapapun yang mengenalnya akan tetap menjadikannya figur dan teladan yang pantas untuk diikuti jejaknya, jika ingin mendapatkan kemuliaan dihadapan Allah. (Bayu Gautama, thanks 4N)
December, 29, 2002
ARTI KEMULIAAN | muslimmuda
Hari mulai memasuki senja. Namun apa maknanya sebuah senja bagi penduduk kota? Senja hanyalah sebuah babak baru dalam hari mereka yang mengantarkan pada kesibukan yang lain. Bahkan juga tak ada maknanya mentari yang hampir tenggelam di langit barat kota itu, karena debu polusi telah menutup keindahannya. Orange telah tercampur hitam pekat.
Polusi itu pun diserakkan oleh angin yang menyentuh semua penghuni senja tak terkecuali. Tak peduli pada Meli dan dua orang kawannya yang kini tengah berdiri di tempat parkir di sebuah Mal di Jakarta, yang sedang membenahi rautnya di samping sebuah mobil Kijang yang diparkir, angin senja juga turut menepis muka yang sedang didandani oleh masing-masing mereka, tepat ketika seorang pengamen cilik mendekati tiga dara tersebut.
Pengamen cilik itu menyenandungkan lirik-lirik yang mencoba mengetuk hati mereka dibalik baju seronok yang mereka pakai. Sebait dua bait, bersama alat musik yang terbuat dari tutup-tutup botol yang disatukan pada sebuah kayu sehingga mengeluarkan bunyi kecrekan yang khas. Namun pada akhirnya bait-bait itu dibayar dengan bentakan.
“Pergi luh sono. Brisik tau!” Bentak Meli tanpa membuyarkan tatapannya pada cermin kecil yang sejak tadi dipakai untuk memantau penampilannya untuk menyambut sebuah kesibukan yang rutin.
Sang pengamen, tanpa harus dibentak dua kali, mencabut kakinya untuk kemudian dilangkahkan pada sembarang orang yang berada di sekitar itu.
“Mel, gimana sih lu. Jangan kasar gitu dong sama anak kecil. Nggak punya nurani apa lu?” Ujar Tika, kawannya yang juga sedang memoleskan kepalsuan pada mukanya.
“Ih, gua jijik ngeliatnya tau. Dekil, ingusan, kumel. Bener-bener rendahan.”
“Rendahan? Tinggian dia dari pada lu, tau?” kali ini Gita, salah satu personel kawanan itu menukas.
“Tinggian dia? Cih, jijay bajaj.” Ujar Meli.
“Seenggaknya pekerjaan dia itu lebih mulia dari pada lu. Dia nggak nyampe ngorbanin harga dirinya.” Gita meninggi.
“Harga diri? Setau gua orang kayak gitu nggak punya harga diri deh. Lagian, apa lu nggak mikir, kerjaan kita sama lagi.”
“Iya, gua ngaku kalo pekerjaan gua ini ngorbanin harga diri gua. Gua ngaku kalo gua ngejual diri gua ke orang laen. Dan gua akuin itu. Nggak kayak lu yang nggak mau ngaku. Dan gua akuin kalo sebenernya diri gua lebih rendah dari anak tadi. Anak tadi nggak nyampe ngejual kehormatan dia, nggak kayak gua. Dan juga nggak kayak lu.”
“Kehormatan? Ih, orang kayak dia itu yang nggak punya kehormatan.”
“Dasar nggak tau diri lu. Gua walaupun lebih lama jadi boleng dari pada lu, tapi gua ngerti apa itu kehormatan.”
“Eeeh, udah-udah. Jangan pada berantem. Udah saatnya cari obyekan nih. Yuk!” Tika melerai pertengkaran itu.
Kemudian, tiga dara itu melangkah ke Mal yang adalah pabrik tempat mereka memproduksi kehidupan. Ya, kehidupan ciri mereka.

*****

Dari dalam BMW hitam, Meli melempar pandangannya pada sekelompok anak-anak yang masih juga berkeliaran pada permulaan malam. Mereka masih dengan kecrekan khas mereka, masih dengan suara khas mereka, masih dengan kelusuhan mereka, menghampiri tiap mobil yang tertahan oleh lampu merah di sebuah perempatan. Pandangan yang terlontar itu terpotong oleh sebuah sentuhan di bahu Meli.
“Ngeliat apa Mel?” Tanya seorang laki-laki separuh baya yang berada di depan stir, yang telah melakukan transaksi dengannya sore tadi melalui sebuah calo.
“Bukan apa-apa, Om. Meli cuma... ngeliat pengamen-pengamen cilik itu, Om.”
“Wah, punya jiwa sosial juga kamu.”
“Saya beruntung, tidak seperti mereka. Bisa hidup lebih layak dari mereka.”
“Hahahaha...” laki-laki itu tertawa.
Lampu lalu-lintas berubah hijau. BMW itu melaju, membawa angan Meli yang terpental pada kehidupan masa kecilnya. Di mana Mama dan Papanya masih berada di sampingnya menemani keceriaan hari-hari yang begitu indah.
Saat Mamanya senantiasa memberi pengarahan tentang arti kemuliaan.
“Meli, kamu nggak boleh males belajar. Nati kamu bodoh, tau. Kalau bodoh kamu nggak bisa jadi kaya. Nggak bisa beli kue. Nggak bisa beli ciki. Nggak bisa beli boneka berbi. Nanti kamu kayak anak gelandangan yang di pasar-pasar itu. Mau kamu? Nggak enak kalo jadi miskin itu.” Ujar mamanya suatu waktu ketika ia sedang malas belajar dan hanya berada di depan televisi seharian.
Begitulah, mama Meli senantiasa memperkenalkan kekayaan harta kepada Meli sebagai sebuah kemuliaan yang harus dicapainya. Kekayaan menjadi ukuran kemuliaan bagi setiap orang. Mama Meli tak segan menjadikan adiknya sendiri yang hidupnya lebih susah dari beliau sebagai contoh.
“Liat tante Riska. Melarat. Itu kan gara-gara kerjaan suaminya cuma tukang. Kalo kamu pinter kan bisa cari kerja yang bagus. Bisa kaya. Bisa beli rumah bagus, beli tempat tidur empuk, beli tipi bagus. Nggak kaya tante Riska.”
Seperti mamanya, papa Meli juga tak kalah sering mencekoki Meli dengan standar kemuliaan itu. Suatu ketika Meli pernah mendengar dialog antara papanya dengan adik papanya.
“Rudi,” Papa Meli menukas, “kamu harus punya iman yang kuat. Biar nggak gampang stres. Nanti, bakalan banyak orang-orang depresi di dunia ini. Kenapa? Karena mereka nggak punya pegengan yang kuat. Mereka itu... apalah yang dicarinya lagi. Apa-apa terpenuhi. Sehingga mereka nggak lagi punya tujuan hidup.
Kalo orang seperti kita kan tujuan hidupnya jelas. Kita ingin kehidupan yang layak. Ingin punya rumah yang bagus.Ya, itulah tujuan hidup kita. Kalau orang yang sudah kaya itu, mereka akan stres karena sudah nggak punya lagi tujuan hidup.” Begitu nasehat papanya yang dari situ Meli mengerti apa arti tujuan hidup.
Maka tertanamlah pada sanubari Meli tentang ukuran kemuliaan itu yang sekaligus menjadi tujuan hidupnya. Dan kehidupan Meli pun selalu bersandar pada ukuran tersebut. Ia tak akan berkawan kecuali dengan orang yang memenuhi standar kemuliaan yang sama. Kawan-kawannya semuanya berasal dari kalangan mulia.
Hingga sampai suatu saat papanya wafat, tiga tahun lalu. Kehidupannya berubah drastis. Ia yang kala itu harus berpisah dari Bandung untuk menempuh studinya di Depok, terpaksa berangsur-angsu turun derajat. Kosnya tak lagi di tempat yang mewah. Bahkan Hadphonenya terjual. Benar-benar Meli turun derajatnya oleh karena kematian papanya.
Meli yang telah tertanam dalam hatinya tentang arti kemuliaan, berusaha mendapatkan kemuliaan itu kembali. Ia mencoba mencari kerja ke sana kemari. Namun ia selalu gagal. Ia belum juga mampu menutupi kekurangan akibat minimnya kiriman ibunya. Hingga akhirnya dia berkenalan dengan Gita dan Tika yang memberinya pekerjaan seperti sekarang ini. Meli pun mendapatkan kehidupannya kembali. Kosannya kembali mewah. Handphone kembali berdering.
Pekerjaan hina yang ia tahu dari ibunya hanyalah pekerjaan yang tidak membuat orang mapan secara ekonomi. Seperti tukang yang dilakukan suami tante Riska. Itulah yang hina. Atau seperti pengemis dan pengamen di jalan yang tak kunjung membuat orang menjadi kaya.
Baginya, pekerjaan apa pun yang membuat orang kaya itu adalah pekerjaan yang mulia. Termasuk pekerjaannya saat ini, dimana kini ia tengah berada di samping seorang pengusaha yang sedang memacu BMW-nya menuju daerah Puncak.
Malam itu, Meli mencoba menggapai sebuah harga kemuliaan yang telah diperkenalkan oleh mamanya. Sedikit disadarinya, Tuhan tidak suka akan pekerjaan itu. Sehingga kejadian berikutnya ketika Meli pulang dari Puncak, Tuhan menegurnya – atau mungkin mengazabnya – di suatu tikungan di mana sebuah mobil yang hendak menyalip mobil lainnya tiba-tiba telah melaju kencang di hadapan sedan yang ditumpangi Meli. Itu peristiwa terakhir yang diingat Meli yang kemudian dibawa kerumah sakit terdekat di mana kakaknya bekerja sebagai perawat di sana rumah sakit itu.

*****

Saat Meli membuka matanya, Meli mendapatkan seorang wanita berjilbab putih lebar memeluknya, mencium keningnya, dan kemudian berkata, “Meli, kamu udah sadar, Dek.”
Begitu Meli akan bergerak, terasa oleh Meli sakit sekujur tubuhnya. Sesaat kemudian ia menyadari muka dan badannya terbalut perban. Dan selang-selang infus malang-melintang di badannya. Ia sedang di rumah sakit pada sebuah kamar kelas tiga.
“Kamu udah pingsan tiga hari lho, Dek.” Wanita itu kembali berkata sambil menyeka air matanya.
“Kakaak...” Hanya itu yang mampu Meli katakan.
“Jangan bergerak dulu dek. Untung kamu selamat. Padahal teman kamu...”
Tiba-tiba detak jantung Meli berdegup begitu kencangnya. Ketahuan sudah oleh kakaknya, ia telah berada di samping seorang laki-laki pada hari itu.
Selanjutnya tercipta suasana hening di antara mereka berdua. Keheningan yang dilatari oleh sedikit keramaian para penjenguk di kamar itu. Sedikit isak tangis kakak Meli mencoba mewarnai keheningan.
“Kenapa kamu bisa bersama laki-laki yang bukan muhrim kamu, Mel?” Akhirnya kakak Meli membuka suara, yang telah berlalu waktu cukup lama tidak juga dijawab oleh Meli.
“Kenapa Meli? Apa sih yang kamu kerjakan? Meli sadar nggak sih ngelakuin pekerjaan itu?”
“Kak, Meli terpaksa nemenin Oom itu. Setelah papa meninggal, Meli nggak dihormatin lagi sama kawan-kawan. Meli nggak punya handphone lagi. Meli nggak bisa tinggal di tempat kos mewah lagi. Meli nggak bisa lagi makan di restoran mewah. Meli malu, Kak. Uang jajan yang dikirim mama nggak cukup.”
“Apa nggak ada pekerjaan laen?”
“Udah Meli cari, Kak. Tapi gajinya nggak seberapa dibanding pekerjaan ini.”
“Tapi itu kan pekerjaan yang nggak bener.”
“Nggak bener? Meli nggak jadi pengemis kok, Kak. Buktinya dengan pekerjaan itu, Meli bisa kaya. Dengan pekerjaan itu Meli bisa ngedapetin lagi apa-apa yang hilang setelah kematian papa. Meli pegang teguh kok pesen Mama bahwa Meli nggak boleh jadi orang miskin. Meli juga bisa bayar kamar kelas satu kok di rumah sakit ini. Kenapa Meli ditempatin di kelas tiga sekarang?” Ujar Meli membuat tangis kakaknya makin menjadi.
“Meli, persetan dengan semua yang diajarin sama mama. Setelah kakak besar, kakak jadi paham apa arti kemuliaan. Bukan seperti yang diajarin mama. Selama ini mama menyuruh kita pintar supaya kita bisa kaya. Selama ini mama sepertinya menanamkan pada kita kalo kekayaan itu segalanya. Itu nggak bener, Mel.
Meli, kamu seharusnya paham, bahwa ukuran kemuliaan itu ada pada ketaqwaan. Derajat seseorang nggak bisa diukur dengan kekayaan. Tapi dengan ketaqwaannya pada Allah. Kalo kita belajar, bukan supaya kita kaya kelak, tapi karena Allah meninggikan derajat orang yang berilmu. Meli, pahamin itu Mel.”
“Kak, Meli nggak ngerti apa yang kakak omongin. Meli tau deh, kalo kakak sekarang udah alim. Udah banyak ngerti agama. Tapi apa yang kakak dapetin sekarang? Hidup kakak biasa-biasa aja. Perawat nggak segitu gede gajinya. Suami kakak cuma wartawan, bukan menejer atau dokter. Kakak sebenernya bisa hidup lebih dari pada kayak sekarang, Kak. Dapet apa kakak dengan ngerti agama kayak gitu?”
“Ck, dunia ini bakal kita tinggalin juga kok, Mel. Liat aja Pak Joni yang kemaren kamu temenin. Villa yang dia punya di Puncak akhirnya dia tinggalin juga. Tiga perusahaan yang lagi naek daun, juga dia tinggalin. Siapa yang nyangka akhirnya dia lebih cepet lima tahun meninggalkan dunia ini dari perkiraan para dokter.”
“Kak, kenal dari mana dengan Pak Joni?”
“Jelas kenal. Dia kan salah seorang pengidap Aids. Dokter yang nanganin dia itu kenalan kakak.”
“Apa? Mbak, gimana dengan Meli.”
Pertanyaan meli hanya disambut dengan tangis oleh kakaknya.
“Bertobatlah dek. Pergunakan waktu beberapa tahun lagi ini. Allah Maha Pengampun.”
Senja melatari rumah sakit yang di dalamnya dua orang adik-kakak sedang menangis. Menangisi usia yang menyenja begitu awal pada salah seorang di antara keduanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar